Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Beras Raskin, Beban Masalah yang Tak Kunjung Terselesaikan

24 Februari 2016   08:53 Diperbarui: 24 Februari 2016   10:10 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi beras (Sumber: Kompas.com)"][/caption]Sudah dua bulan ini jatah raskin yang diterima RT yang akan dibagikan kepada Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM) dikemas dalam karung ukuran 50 kg. Sehingga kesulitan pun bertambah lagi. Karena biasanya setiap warga yang berhak menerimanya itu tinggal memanggul satu karung ukuran 15 kg, maka sekarang ini karung itu musti dibongkar. Lalu isinya ditimbang lagi sebelum diterima masing-masing warga RTSPM.

Persoalan baru pun muncul. Dan RT dibuat pusing tujuh keliling, tentu saja. Isi karung itu tidak pernah pas 50 kg ternyata. Kadang-kadang dari setiap karungnya ada yang susut 2, 3, 4, 5, malahan sampai ada yang 10 kg kurangnya itu. Persoalan itu pun kembali menjadi bebannya memang.

Setelah menyeruput kopinya, Pak RT melepas peci hitamnya. Lalu rambut di kepalanya yang sudah hampir semuanya memutih itu digaruk-garuk dengan jari tangannya.

“Pusing... Pusing. Padahal saya harus tetap menyetor sesuai jumlah karung yang diterima,” keluhnya.

“Lalu bagaimana untuk mengganti kekurangannya?” tanya pemilik warung kopi menyelidik.

“Itulah masalahnya. Gaji RT saja ‘kan cuma Rp 30 ribu saja yang saya terima saban bulannya. Itu pun dirapelkan setiap triwulan sekali. Sedangkan penghasilan dari kuli ngangkut pasir pun paling cukup buat kebutuhan dapur sehari-hari. Kadang-kadang malahan sering kurang juga.”

“Maka dari itu, sebagaimana kita ketahui selama ini, harga jual raskin tidak lagi sesuai pagu, yakni Rp 1.600 per kilogramnya. Mengingat karena sering terjadinya penyusutan, yang entah apa sebabnya, lalu biaya angkut dari titik distribusi pada masing-masing RT, maka atas kesepakatan semua pihak, pemerintah desa terpaksa menaikkan jumlah harga raskin sebesar itu Rp1.800-Rp2.000 per kg,” terang Pak RT seperti sedang berorasi saja laiknya.

“Tapi masalah ini jangan sampai didengar LSM dan wartawan, ya. Bisa bahaya. Paling tidak uang yang seharusnya untuk mengganti biaya angkut dan penyusutan, malah diberikan pada mereka.”

“Masalah raskin ini seperti benang kusut saja memang. Sekilas pemerintah telah melaksanakan amanat UUD ’45 memang. Tetapi dalam kenyataannya seakan hanya setengah hati. Rakyat miskin masih saja tetap berada di pinggiran. Malahan seakan tepat berada di tepi jurang,” Jang Ridwan buka suara. Semua mata menatap ke arahnya.

“Coba saja bayangkan. Beras yang diterima mereka selain begitu buruk kualitasnya, tidak pernah pas lagi timbangannya. Keluhan itu sepertinya selalu terdengar, tetapi pemerintah seolah tetap saja tidak pernah mau memperbaikinya. Demikian juga halnya dengan harga jual yang tidak sesuai dengan pagu – seperti yang dikatakan Pak RT tadi, suka maupun tidak suka tetap saja pelanggaran namanya. Tetapi hal itu tidak hanya terjadi di desa kita, pada umumnya di desa lain pun mengalami kejadian serupa. Sebagaimana ditetapkan, titik distribusi raskin adalah di setiap kantor Desa. Sedangkan luas wilayah sebuah desa yang paling sedikit memiliki tiga kedusunan, rata-rata mencapai radius dua kilometer. Suatu hal yang mustahil seorang warga RTSPM yang berdomisili di kedusunan yang jaraknya paling jauh dari titik distribusi, dan kondisinya sudah jompo lagi, harus mengambil beras sendiri yang beratnya 15 kilogram.

Sementara masalah LSM dan wartawan, pada dasarnya mereka sudah melakukan tugasnya sebagai kontrol sosial. Apa salahnya Pak RT berterus terang, dan biarkan mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri permasalahan yang sebenarnya terjadi. Siapa tahu mereka akan membantu untuk memecahkan permasalahan ini. Hanya saja bila ada LSM dan wartawan yang disumpal dengan amplop lalu pulang, itu lain lagi persoalannya. LSM dan wartawan seperti itu abal-abal namanya.”

Hampir semua orang merasa takjub dengan penjelasan Jang Ridwan yang begitu panjang-lebar. Bagaimanapun anak muda yang satu ini, di kampung kami merupakan satu-satunya pemuda yang memiliki predikat mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta. Sementara Pak RT sendiri hanya menggeleng-gelengkan kepala. 

"Akankah permasalahn raskin ini dapat terselesaikan?" bisiknya dari hati yang paling dalam. ***

Serial Obrolan di Warung Kopi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun