Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepasang Suami-isteri Pada Suatu Ketika

20 Februari 2016   00:41 Diperbarui: 20 Februari 2016   00:46 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi"][/caption]

Menjelang senja yang basah usai hujan sepanjang sore tadi, sepasang suami istri sedang menikmati teh hangat sambil menanti tibanya malam hari,  di teras belakang rumah mereka.

“Sepertinya kamu tidak pernah merindukan cucu kita yang di Jakarta, ya ?!” kata istrinya seraya membetulkan letak kacamatanya.

“Ah, siapa bilang ? Justru saking rindunya aku tidak lagi bisa menulis seperti biasanya.”

“Lalu apa saja yang dikerjakan saban malam di kamar kerja ?”

“Paling hanya membaca. Dan kalau tidak, mengikuti berita dari media online. Itu saja.”

“Hmmm... Pantesan dua minggu ini kamu tidak pernah lagi ke bank.”

Lewat ekor matanya, istrinya melihat suaminya mengeluarkan bungkusan rokok kretek dari saku jaketnya.

“Pantesan batuk-batuk terus. Rupanya kamu belum juga berhenti...”

Seperti maling yang tertangkap basah, suaminya buru-buru memasukan lagi bungkusan rokok kreteknya. Tapi terlambat. Istrinya berdiri, lalu mendekatinya seraya tangannya merogoh saku jaket suaminya. Bungkusan rokok itu kemudian dilemparkannya ke halaman yang masih tergenang air hujan.

***

Usai shalat Maghrib, istrinya duduk di depan televisi. Sementara tangannya masih tetap memegang tasbih.

Tak lama kemudian, ia memanggil suaminya dengan suara yang menengahi suara penyiar di televisi.

“Pak, coba ke sini. Ada berita dari Poso. Pasukan Brimob katanya akan melakukan operasi lagi untuk mengepung Santoso. Siapa tahu si sulung disorot kamera...”

Dari dalam kamar suaminya tergesa keluar. Lalu duduk di samping istrinya. Hanya saja dia lupa dengan rokok yang dijepit jari tangan kirinya.

“Nah, sudah diingatkan masih bandel juga rupanya...” jerit istrinya sambil menatap tajam. Suaminya tersenyum kikuk. Lalu beranjak menuju pintu depan. Rokok kretek yang masih panjang itu dibuangnya ke luar.

“Masih jorok lagi. Buang rokok sembarangan. Seperti suka menyapu saja,” omel istrinya lagi.

“Sudah. Jangan duduk di dekatku. Malam ini pun jangan tidur di kamarku. Bau rokok!”

Keduanya duduk berjauhan. Sedangkan di layar televisi penyiar telah menyampaikan berita lain lagi.

Tak adalagi pembicaraan di atara mereka. Keduanya seakan asyik dengan menyaksikan tayangan acara di layar kaca.

Sebuah sinetron yang seakan gambaran perjalanan hidup rumah tangga mereka. Sepasang suami-istri yang kesepian menjelang hari tuanya. Anak-anaknya sudah pergi meninggalkan keduanya untuk mengikuti gurat nasibnya masing-masing.

Sebagaimana tugas orang tua, setelah dilahirkan dari rahim ibunya, keduanya membimbing dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih-sayang. Dan setelah anaknya dewasa, suami-istri itu pun kembali hidup hanya berdua saja.

Saat melirik, tampak istrinya komat-kamit. Lalu perlahan dia beranjak menuju kamar kerjanya. Meninggalkan istrinya yang tampaknya masih terpukau dengan lakon itu.

***

Lelaki tua itu duduk di kursi goyang. Sebuah novel lama karya Ernest Hemingway, The Old Man and The Sea sedang dibacanya. Padahal sudah berulang kali dalam hidupnya lelaki itu membaca karya pengarang Amerika Serikat yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri itu.

Mata lelaki itu memang sedang mengeja kata demi kata yang tertera dalam buku cerita itu. Akan tetapi pikirannya melayang-layang jauh sekali. Seperti mengikuti Pak tua yang berlayar untuk memancing di samudera luas.

Ia teringat kepada anaknya yang sulung, dan sudah beberapa tahun ini tidak pernah bertemu lagi. Kecuali bicara lewat sambungan telpon genggam dengan fitur video call. Pernikahannya dengan gadis di tempat tugasnya, sampai sekarang sesudah memiliki  anak, tidak sekalipun melihatnya secara langsung. Jarak yang memisahkan orang tua dan anaknya itu mesti ditempuh dengan melewati laut dan udara yang lumayan jauh. Selain biaya perjalanan yang lumayan mahal, juga kesibukan mengurus kebutuhan hidup sehari-hari menjadi kendala yang sulit untuk dienyahkan.

Sedangkan anaknya yang kedua, yang biasanya mudik bersama suami dan anaknya saban ada libur panjang, sejak mengantar pulang ibunya dari ibadah umrah setahun lalu, setelah itu tak pernah mengunjunginya lagi. Mungkin karena masih tersinggung saat suaminya diomeli gara-gara bersikap tidak sopan terhadap dirinya. Bukannya sok gila hormat, tapi seorang anak sudah sepatutnya bersikap hormat pada orang tuanya. Apalagi di depan mertua sendiri, memantunya itu bersikap kasar pada istrinya, yang tak lain anaknya sendiri. Jangan-jangan di belakangnya malah diperlakukan lebih dari itu.

Akan tetapi semua itu sudah terjadi. Anak-anak yang sudah dewasa telah memilih jalannya sendiri-sendiri. Sebagai orang tua mungkin sekarang ini paling hanya menyaksikannya saja. Sebagaimana menyaksikan sebuah lakon sinetron saja. ***

 

Sumber foto: Di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun