Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Ada Lagi Kata Maaf Untukmu, Kang

5 Februari 2016   09:28 Diperbarui: 5 Februari 2016   17:33 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalannya tidak cukup dengan meminta maaf saja, karena ternyata Ningsih menuntut Hamdan, suaminya, untuk menceraikannya saat itu juga. Tanpa dapat ditawar lagi.

Meskipun dengan wajah kusut, dan berlinang air mata, serta sekalipun suaranya parau, tapi kalimat yang meluncur dari mulut perempuan itu seperti sebilah belati tajam yang menghujam dada Hamdan.

“Permintaan maaf Akang sudah terlalu usang. Jalan terbaik tidak lain adalah Akang harus menceraikanku. Ya, cerai. Sekarang ini juga. Aku terlalu sakit hati dengan kelakuan Akang saat ini. Titik.”

Bisa jadi sakit hati yang dirasakan Ningsih sudah melewati batas kewajaran memang. Bayangkan, dua puluh tahun berumah tangga, Ningsih masih mampu bersikap sabar. Apa pun yang dilakukan suaminya masih dimaklumi, juga dimaafkannya. Tapi untuk yang kali ini, Ningsih berontak seketika. Urusan anak-anak yang selama ini jadi alasan dirinya mampu mempertahankan biduk rumah tangganya dari terjangan badai, seakan sudah diabaikannya juga.

Wawan, anak pertamanya, sekarang telah tumbuh dewasa. Sejak tamat SD tujuh tahun lalu, Wawan bersama dua temannya pergi ke kota. Sebagaimana biasanya anak-anak di kampungnya, bila sudah menyelesaikan sekolah, dan sudah mampu membaca Al Qur’an, mereka menjadi buruh di pabrik kerupuk. Dengan upah yang diterimanya saban bulan sebesar Rp 600 ribu, Wawan telah mampu membantu meringankan beban keluarganya. Begitu juga dengan Asih, anaknya yang kedua, yang usianya selisih dua tahun dengan Wawan, sejak tiga tahun lalu bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada seorang keluarga Tionghoa di kota yang sama dengan kakaknya itu. Sehingga pendapatan Ningsih dari pekerjaannya sebagai buruh serabutan pun jadi bertambah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Malahan Opik, anak bungsunya, bisa melanjutkan sekolah ke SMP. Dan sekarang sudah duduk di kelas dua. Tidak seperti dua kakaknya yang hanya tamat SD saja.

Jadi untuk apa lagi yang mesti dipertahankan, kalau tokh anak-anak sudah tak lagi menjadi beban. Justru yang sekarang dirasakan Ningsih menjadi duri kehidupan, adalah Hamdan, suaminya, ayah dari tiga orang anaknya. Untuk apa lagi mempertahankan rumah tangga kalau nakhodanya sendiri tidak mampu mengayuh biduk sebagaimana mestinya orang yang memiliki tanggung jawab.

“Sungguh, Ningsih, Akang meminta maaf dari perbuatan yang telah Akang lakukan. Dan Akang berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,” Hamdan menghiba sambil menatap istrinya dengan mata memelas. “Ingat, sebentar lagi Asih menikah. Kalau kita berpisah, bagaimana perasaannya. Setidaknya dia akan merasa rendah diri di depan calon suaminya...”
Ningsih segera memotong kalimat, “Justru Asih yang mendukung saya untuk segera berpisah. Bisa jadi Asih ikut merasakan penderitaan yang saya rasakan selama ini. Malahan dia merasa malu memiliki seorang ayah seperti Akang. Asih pun suatu saat pernah mengatakan kalau selama ini dia merasa tidak memiliki seorang ayah. Bagaimanapun dia ingin seperti teman-temannya, memiliki seorang ayah yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Paling tidak memberikan perhatian, dan kasih sayang sebagaimana layaknya. Sementara Akang selama ini sama sekali malah asyik dengan diri sendiri,” sergahnya.

Hamdan tersentak. Sementara di luar rumah, terdengar riuh-rendah kerumunan tetangganya, malahan ada juga yang berteriak-teriak.

Selama dua puluh tahun berumah tangga, Hamdan masih juga tak bisa melepaskan watak buruknya memang. Kebiasaannya bermabuk-mabukan dan berjudi tetap saja dia lakukan. Sekalipun dengan diam-diam. Tanpa sepengetahuan Ningsih, istrinya, maupun anak-anaknya. Setiap pergi dari rumah, dia selalu bilang untuk mencari pekerjaan, atawa jual-beli ayam yang memang selalu dipeliharanya. Hanya saja setiap kembali pulang, Hamdan tidak pernah memberikan uang kepada Ningsih. Kalaupun ada, paling dalam sebulan dua-tiga kali Hamdan menyerahkannya pada Ningsih. Itu pun jumlahnya tidak seberapa. Tapi Ningsih ikhlas, tak pernah rewel, atawa bertanya hasil dari bekerja apa uang yang diberikan Hamdan kepadanya. Karena saban hari dia sendiri punya pendapatan dari pekerjaannya sebagai buruh tani, atawa mencuci pakaian tetangga sekitar yang suka menyuruhnya.
Ningsih mengetahui pekerjaan Hamdan yang sesungguhnya, adalah saat suatu hari dua orang polisi datang ke rumahnya. Mereka mengabarkan Hamdan berada dalam sel tahanan Polsek, karena terlibat judi sabung ayam. Dan bukan itu saja, suaminya itu juga menjadi orang suruhan untuk menyalurkan minuman keras di warung-warung sekitar kampung.

Betapa kecewanya Ningsih. Tapi setelah Hamdan menghiba meminta maaf, dan berjanji untuk bertobat, Ningsih pun luluh hatinya.
Hanya saja setelah berselang beberapa bulan, usai Hamdan keluar dari tahanan, ternyata kelakuan buruk Hamdan malah semakin menjadi-jadi. Berulang kali suaminya berurusan dengan polisi. Berulang kali pula Hamdan memohon maaf pada Ningsih. Dia masih bersedia menerima Hamdan. Ningsih masih cukup bersabar memang. Keutuhan rumah tangganya yang tidak ada kejelasan, masih tetap ia pertahankan. Bagaimanapun anak-anak adalah alasan utamanya.

Tetapi untuk yang kali ini, sulit rasanya bagi Ningsih untuk memberi kata maaf lagi. Ajaran guru ngajinya saat Ningsih masih anak-anak, bahwa orang pemaaf selalu disayang Gusti Allah, seakan tidak berlaku lagi sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun