“Belum sempurna seorang yang mengaku beragama Islam, jika sedikitpun tidak memiliki keinginan dalam hatinya untuk mendirikan sebuah negara yang berdasarkan syariat Islam itu sendiri.”
Demikian pernah saya dengar dari guru ngaji seorang tetangga, tatkala tetangga itu pada suatu ketika mengajak saya untuk ikut menghadiri pengajian yang diselenggarakan kelompoknya.
Sungguh, saya mengikuti pengajian tersebut hanyalah untuk menjaga hubungan baik saya dengan tetangga itu saja. Karena saya tidak enak hati dengan ajakannya yang sampai-sampai mengatakan, “Dalam Islam mencariilmu itu merupakan suatu kewajiban, Pak. Bahkan Rasul Muhammad SAW bersabda, carilah ilmu sampai ke negeri Cina,” katanya ketika saya dengan halus menolak ajakannya.
Bukan apa-apa, karena ajakannya itu begitu mendadak, juga tempat pengajiannya itu pun di desa tetangga yang jaraknya dari kampung kami rada jauh juga, maka saya harus pandai-pandai mengatur waktu. Selain itu di kampung kami sendiri ada beberapa kelompok pengajian yang diselenggarakan warga, dan tidak hanya pengajian yang jadwalnya mingguan saja, melainkan ada pengajian rutin yang diadakan saban sore selesai shalat Asar. Ditambah lagi dengan urusan keluarga yang merupakan tanggung jawab saya.
Oleh karena itu, saya meminta agar diperkenankan mengikuti pengajian kelompoknya itu di minggu yang akan datang saja. Apa lagi ketika itu saya punya alasan yang bisa dimaklumi olehnya. Kebetulan ada ternak kambing saya yang sudah waktunya akan melahirkan.
Begitulah. Maka ketika saat yang dijanjikan tiba, baru saja selesai shalat Dzuhur tetangga itu sudah menjemput saya. “Supaya dapat tempat duduk di shaf depan,” katanya.
“Ahalan wasahlan, ya ikhwan...” sambut guru ngaji tetangga saya itu saat bersalaman, sekalian memperkenalkan saya sebagai tetangga dekatnya.
Ada pun tema pengajian yang disampaikan guru ngaji itu adalah tentang perjuangan seorang beragama Islam dalam menggapai ridha Allah SWT. Di antaranya “Belum sempurna seorang yang mengaku beragama Islam, jika sedikitpun tidak memiliki keinginan dalam hatinya untuk mendirikan sebuah negara yang berdasarkan syariat Islam itu sendiri.”
Lalu, “Sebagaimana telah dilakukan pemimpin besar kita, mendiang Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, merupakan tonggak sejarah yang sudah selayaknya dilanjutkan oelh umat Islam dewasa ini. Negara Islam Indonesia harus tegak kembali.”
Mendengar nama itu, mendengar himbauan itu, tubuh saya menggigil seketika. Untungnya saya masih mampu menguasai diri. Hanya saja yang jelas saya tidak banyak meladeni celoteh tetangga yang membonceng di belakang saat kami menuju pulang.
Bahkan sewaktu dia berkata, “Di rumah banyak buku-buku tentang perjuangan NII, nanti saya pinjami.” Saya pura-pura tak mendengar, dan tetap berkonsentrasi dengan sepeda motor yang kami kendarai. Apalagi jalan tanah di depan kami cukup licin karena basah sisa hujan.
Sehabis shalat Isya tetangga itu bertandang ke rumah sambil menyerahkan setumpuk buku dan majalah yang dijanjikannya. Meskipun ada perasaan segan, apa boleh buat, saya terima juga.
Bagaimanapun kisah DI/TII pimpinan SM Kartosuwiryo di kampung kami, telah membuat saudara, teman, tetangga, dan warga yang satu agama terpecah-belah. Sebagaimana diceritakan almarhum kakek maupun ayah saya sendiri. Kebrutalan pasukan SM Karto Suwiryo terhadap warga yang tidak mendukung aksinya itu begitu kejam. Harta benda warga pun dirampas, kampung-kampung dibumi-hanguskan.
Padahal peristiwa itu sudah lama sekali. Dan sekarang ini hendak dihidupkan kembali oleh kelompok pengajian itu.
Memang benar, saya ingin melihat agama Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin, tapi bukan dengan mendirikan negara di dalam negara, juga bukan dengan cara membabi-buta, dan bukan pula dengan cara menghalalkan dengan segala cara. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H