Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tatapan Seorang Anak yang Mendambakan Kasih Sayang

17 Januari 2016   23:53 Diperbarui: 18 Januari 2016   00:00 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi"][/caption]

Serombongan anak-anak yang berjalan beriringan, hampir serempak menoleh ke arah kami, saya dan istri saya yang ada di belakang mereka. Anak-anak itu menghentikan langkahnya, dan tampak berjejer di tepi jalan. Sepertinya ingin mempersilahkan kami untuk mendahului mereka. Padahal jarak antara mereka dengan sepeda motor yang kami kendarai sekitar dua puluh meter lagi.

Anak-anak itu menunduk takzim saat sepeda motor yang kami kendarai mendekat. Ah, tapi tidak semuanya. Saya melihat seorang anak laki-laki dengah wajah mendongak, dan matanya menatap ke arah kami. Hanya saja saat saya perhatikan, tatapan mata itu seperti sedang menerawang jauh. Entah kemana.

Begitu sepeda motor kami lewat di depan mereka, serempak semuanya mengucap salam. Sedangkan anak yang satu itu masih juga menerawang, dan mulutnya terkatup diam.

Rombongan anak-anak itu adalah murid istri saya. Kebetulan hari ini saya punya waktu untuk menjemputnya untuk pulang dari SD tempat selama ini dia mengajar.

“Bu, anak siapa yang tadi tak hentinya menatap ke arah kita ?”

“Galih namanya. Anak seorang janda. Karena ayahnya pergi entah kemana sejak ia masih bayi. Memang tidak hanya pada bapak saja, saya sering melihat anak itu suka melihat dengan lekat pada setiap pria. Termasuk rekan guru pria di sekolah kami. Mungkin dia merindukan kehadiran seorang ayah...”

“Kasihan...”

Lalu tanpa diminta istri saya menceritakan tentang muridnya yang bernama Galih itu.

Saat masih gadis, ibunya Galih bekerja di pabrik tekstil di kota B. Karena jaraknya dengan kampung kami bisa ditempuh dalam waktu sekitar dua jam dengan menumpang elf, atawa bus, maka setiap ahir bulan ibunya si Galih itu pulang untuk mengirim uang kepada orang tuanya.

Suatu ketika, saat ibunya si Galih akan kembali ke kota B, kebetulan ada seorang pria tamu kenalan saudaranya yang membawa minibus, juga mengaku hendak menuju ke B. Maka oleh saudaranya dia dititipkan pada kenalannya itu. Selain supaya di perjalannya lebih cepat, juga dapat tumpangan gratis.

Berduaan dalam perjalanan yang memakan waktu sekitar dua jam, bisa jadi merupakan sebuah awal dari keakraban sepasang anak manusia itu. Dan beberapa bulan kemudian, tersiar kabar di kampung tempat tinggal ibunya Si Galih yang saat itu masih gadis, konon seperti sedang hamil. Tak lama kemudian, di tengah gosip yang sedang beredar, secara diam-diam ibunya si Galih dinikahkan oleh keluarganya dengan pria kenalan saudaranya itu.

Setelah menikah ibunya si Galih tidak lagi bekerja di pabrik tekstil. Selain karena kandungannya sudah semakin besar, juga karena sekarang tanggung jawab di keluarganya sudah diambil-alih suaminya. Hanya saja pekerjaan suaminya itu tidak sebagaimana biasanya kaum lelaki di kampung kami. Bukan sebagai pegawai,bukan pengusaha, juga bukan petani. Melainkan sebagai orang pintar, alias dukun yang katanya bisa membantu orang yang ingin maju bisnisnya, naik pangkat, sampai para jomlo yang ingin segera mendapatkan jodoh, atawa yang minta kode jitu judi togel pun banyak yang bertamu.

Kliennya pun bukan hanya dari kampung sekitar saja, dari luar daerah pun ternyata bayak juga. Sehingga kehidupan keluarga itu kian hari terlihat makin bersinar saja. Apalagi ketika enam bulan kemudian melahirkan anak pertama, seorang bayi perempuan,  keluarga itu selain mampu merenovasi rumah,  sebuah kendaraan roda empat jenis minibus juga sudah dimilikinya. Karena minibus yang pertama kali dibawa ke kampung kami, waktu menikah pun sudah tidak tampak lagi.

Warga kampung kami memanggil ‘Haji’ pada suami ibunya si Galih itu. Kalau dari aksen bicaranya, jelas seperti orang Madura. Pergaulannya dengan warga lumayan supel, dan cepat akrab. Terutama dengan anak-anak muda. Apalagi dengan anak muda yang sering nongkrong di pos ronda, dia begitu royal membelikan rokok untuk mereka. Malahan hampir setiap malam minggu, anak-anak muda itu dibawa jalan-jalan dengan minibusnya. Lalu mereka ditraktir makan di restoran sepuasnya.

Hanya saja ketika istrinya sedang mengandung si Galih, tiba-tiba warga heboh dengan adanya dugaan penipuan terhadap beberapa warga yang dilakukan suaminya itu. Dan sejak itu ayah si Galih raib entah kemana.

Ada pun modus penipuannya berupa penggandaan uang. Menurut cerita korban, katanya ayah si Galih itu mengaku bisa membuat uang, misalnya saja dari seratus ribu rupiah menjadi  berlipat seratus kali jumlahnya. Konon ada tiga warga sekitar yang tergoda untuk melipatgandakan uangnya saat itu. Masing-masing  ada yang menyerahkan uang miliknya mulai Rp 20 juta s/d Rp 50 juta. Total uang tiga orang itu sebesar Rp 95 juta.

Karena yang bersangkutan kabur, maka istrinya yang sedang mengandung harus mempertanggungjawabkan perbuatan suaminya tersebut. Seluruh harta benda yang ada di rumah keluarga itu disita oleh ketiga korbannya itu sebagai pengganti uang miliknya yang telah ditipu suaminya.

“Sampai sekarang si Galih berumur sepuluh tahun, dan sudah duduk di bangku kelas empat sekolah dasar, belum pernah sekalipun bertemu dengan ayahnya,”  kata istri saya.

Saya hanya mampu bergumam, “Malang sekali nasib anak itu... Karena perbuatan ayahnya, dia yang tak tahu apa-apa menjadi korban.” ***

Sumber gambar: di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun