[caption caption="Ilustrasi"][/caption]
Serombongan anak-anak yang berjalan beriringan, hampir serempak menoleh ke arah kami, saya dan istri saya yang ada di belakang mereka. Anak-anak itu menghentikan langkahnya, dan tampak berjejer di tepi jalan. Sepertinya ingin mempersilahkan kami untuk mendahului mereka. Padahal jarak antara mereka dengan sepeda motor yang kami kendarai sekitar dua puluh meter lagi.
Anak-anak itu menunduk takzim saat sepeda motor yang kami kendarai mendekat. Ah, tapi tidak semuanya. Saya melihat seorang anak laki-laki dengah wajah mendongak, dan matanya menatap ke arah kami. Hanya saja saat saya perhatikan, tatapan mata itu seperti sedang menerawang jauh. Entah kemana.
Begitu sepeda motor kami lewat di depan mereka, serempak semuanya mengucap salam. Sedangkan anak yang satu itu masih juga menerawang, dan mulutnya terkatup diam.
Rombongan anak-anak itu adalah murid istri saya. Kebetulan hari ini saya punya waktu untuk menjemputnya untuk pulang dari SD tempat selama ini dia mengajar.
“Bu, anak siapa yang tadi tak hentinya menatap ke arah kita ?”
“Galih namanya. Anak seorang janda. Karena ayahnya pergi entah kemana sejak ia masih bayi. Memang tidak hanya pada bapak saja, saya sering melihat anak itu suka melihat dengan lekat pada setiap pria. Termasuk rekan guru pria di sekolah kami. Mungkin dia merindukan kehadiran seorang ayah...”
“Kasihan...”
Lalu tanpa diminta istri saya menceritakan tentang muridnya yang bernama Galih itu.
Saat masih gadis, ibunya Galih bekerja di pabrik tekstil di kota B. Karena jaraknya dengan kampung kami bisa ditempuh dalam waktu sekitar dua jam dengan menumpang elf, atawa bus, maka setiap ahir bulan ibunya si Galih itu pulang untuk mengirim uang kepada orang tuanya.
Suatu ketika, saat ibunya si Galih akan kembali ke kota B, kebetulan ada seorang pria tamu kenalan saudaranya yang membawa minibus, juga mengaku hendak menuju ke B. Maka oleh saudaranya dia dititipkan pada kenalannya itu. Selain supaya di perjalannya lebih cepat, juga dapat tumpangan gratis.