Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Tahlilan dan Kesenjangan Sosial

17 Januari 2016   14:25 Diperbarui: 18 Januari 2016   07:15 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tengah orang-orang dengan wajah diselimuti duka mengerumuni Mang Encu yang tergolek lemah di pembaringan, karena sakit keras, dan banyak yang menduga tak lama lagi akan meninggal, tiba-tiba anak bungsunya  yang masih berusia 5 tahun, malah berjingkrak  sambil berteriak, “Horeee... Si Bapak mau mati, kita semua sebentar lagi bakalan makan enak !”

Sanak keluarga dan tetangga yang semula dirundung gundah-gulana, tersentak mendengar ocehan bocah itu. Beberapa di antaranya buru-buru menyuruh diam, dan membawa anak bungsu Mang Encu  menjauh. Tetapi tak sedikit yang malah tertawa sambil menutup mulutnya.

Bisa jadi orang yang mentertawakan sikap bocah tersebut, lantaran menduga kematian di mata bocah itu sebagai suatu kesempatan untuk memperbaiki gizi semata, dan sama sekali belum paham andaikan orang tuanya meninggal dunia, dia tak akan medapat kasih sayangnya lagi untuk selamanya.  Bagaimanapun tradisi di kampung kami, bila ada orang yang meninggal, keluarganya harus hajatan.

Sungguh, di kampung kami apabila ada salah seorang keluarganya yang meninggal dunia, selain dilanda duka cita sebagaimana biasanya, juga masih merupakan saat-saat untuk mengeluarkan dana anggaran yang lumayan besar jumlahnya.

Betapa tidak. Begitu keluarganya meninggal dunia, entah dengan membuka kotak simpanan  bagi keluarga yang kaya, atawa dengan cara mengutang  bagi yang selalu kekurangan dalam hidupnya, mau tidak mau sejumlah uang harus sudah tersedia.

Ada pun uang itu digunakan untuk dibagi-bagikan kepada mereka yang menggali kubur, yang dalam kenyataannya orang yang benar-benar  sebagai penggali paling banter sebanyak empat orang saja, sedangkan sebagian besar yang ada di pekuburan itu malah asyik bercengkerama ngalor-ngidul sesukanya. Selain itu orang ikut melaksanakan shalat jenazah, juga akan mendapatkan ‘jatah’, dan jumlahnya lebih besar dari orang yang berada di pekuburan. Pun orang yang memandikan jenazah, sudah pasti kebagian juga. Malahan khusus bagi orang yang dianggap paling bersungguh-sungguh dalam memandikannya, maka orang itu biasanya akan mendapatkan seperangkat pakaian yang masih baru.

Setelah mayat selesai dikebumikan, lalu pihak keluarga berbelanja ke pasar untuk kebutuhan menjamu orang yang ikut tahlilan.  Selain dijamu dengan makanan dan minuman, orang-orang yang ikut tahlilan itupun ketika hendak pulang akan diberi amplop berisi uang berikut sekantung makanan. Sementara kegiatan tahlilan itu akan berlangsung sejak hari pertama kematian hingga hari ketujuh. Kemudian tahlilan itu saat memasuki hari ke-20 diselenggarakan lagi, disusul ketika masuk hari ke-40. Setelah itu barulah pihak keluarga yang meninggal dunia akan sedikit bernafas lega. Sebab kegiatan tahlilan itu baru akan diadakannya lagi bila sampai pada ke-100 harinya.

Bagi orang yang berharta, kegiatan tahlilan itu tidak sampai di situ saja, biasanya jika sudah genap satu tahun akan diselenggarakannya juga tahlilan itu.

Memang di satu sisi tahlilan itu mengandung nilai yang positif. Paling tidak orang satu kampung, khususnya kaum pria – dewasa dan anak-anak, akan bertemu muka, alias bersilaturahmi satu sama lain. Dalam tahlilan itu pun dibacakan ayat-ayat suci  Al Qur’an secara bersama-sama dengan dipimpin oleh seorang kiyai, atawa di kampung kami lebih dikenal dengan sebutan Ajengan. Maka dengan demikian, warga di kampung kami sebagian besar sudah banyak yang hafal bacaan Al Qur’an di luar kepala, meskipun makna dari yang dibacanya itu entah paham entah tidak.

Sedangkan di sisi lain, justru membuat keluarga orang yang meninggal dunia kerepotan dengan kegiatan tahlilan seperti itu. Apalagi bagi keluarga yang hidupnya masuk kategori miskin. Misalnya saja karena anggaran untuk kegiatan tahlilan itu biasanya didapat dengan cara berutang, maka yang namanya utang pun harus dibayar.  Bahkan andai saja pinjaman uang itu didapat dari orang yang biasa dinamakan rentenir, apa boleh buat selain dituntut mengembalikan pokok pinjaman, bunganya yang lumayan mencekik pun harus diberikan. Masih mending kalau harta peninggalan yang mati itu lumayan banyak, tapi kalau sebaliknya, justru untuk makan sehari-hari saja harus bekerja setengah mati...

Sementara itu yang namanya kiyai, atawa ajengan di kampung kami, langsung atau tidak langsung, terhadap kegiatan tahlilan yang memakan anggaran yang besar itu, terkesan  memberikan fatwa wajib untuk dilaksanakan.  Sehingga tak aneh lagi bila muncul anekdot di kalangan anak-anak muda kalau tahlilan menjadi salah satu ‘proyek’ kiyai yang tak boleh dilewatkan. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun