[caption caption="Ilustrasi (Sumber: Liputan6.com)"][/caption]Untuk memenuhi kebutuhan pangan, dikabarkan pemerintah telah mengimpor ribuan ton beras dari Vietnam. Ironis memang kedengarannya, negeri yang dilukiskan Multatuli sebagai rangkaian zamrud di khatulistiwa itu, sepertinya setiap periode pemerintahan tak pernah sepi dari membeli beras produk luar negeri. Lalu selama ini beras yang dihasilkanpetani bangsa sendiri dikemanakan, bukankah Indonesia ini sejak dahulu dikenal sebagai negara agraris. Kalau begini jadinya, kedaulatan pun laksana pepesan kosong saja.
“Eits, jangan emosi dulu, Kang. Mungkin saja karena beras produksi lokal belum mencukupi. Apalagi sekarang ini antara luas areal sawah dengan jumlah penduduk yang 250 juta jiwa sudah tidak sebanding. Kita sering melihat bagaimana Karawang yang dulu dikenal sebagai gudang beras, sekarang areal pesawahannya semakin berkurang karena berubah jadi kawasan industri. Belum lagi dengan anomali iklim yang besar pengaruhnya terhadap usaha pertanian. Seperti El Nino itu, Kang. Bukankah kita sendiri tak bisa berbuat apa-apa saat gelombang panas itu menerjang wilayah Indonesia, sehingga musim kemarau lebih panjang dari biasanya. Sawah kita pun kering tak bisa ditanami padi. Maka tak ada pilihan lain bagi kita selain nongkrong di warung kopi seperti sekarang ini, sementara perut ‘kan tetap saja tak bisa diajak kompromi,” Jang Dudung membantah pendapat Kang Usman tadi.
“Justru karena urusan perut menjadi nomor satu, idealnya pemerintah ...”
“Jangan gaduh melulu !” Mang Usep memotong kalimat Kang Usman. “Bukan begitu, Kang ?”
“Bukan. Maksudku pemerintah harus berupaya keras agar produksi dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan. Jangan lagi mengandalkan impor. Sebagai warga negara yang di ktp memiliki pekerjaan sebagai petani, seperti juga ayah, kakek, dan kakek moyang semuanya juga mengandalkan kehidupannya dari mengolah sawah dan menanam padi, aku merasa malu. Sangat malu mendengar berita negara kita masih saja kekurangan stok beras, dan untuk menutupinya tak lain hanya dengan mengimpornya dari Vietnam. Padahal kalau dibandingkan antara Indonesia dengan negara itu, misalnya kemerdekaannya saja lebih dulu Indonesia daripada Vietnam. Demikian juga dengan luas wilayahnya. Sebetulnya indonesia memiliki banyak kelebihan. Tetapi kenapa stok berasnya malah yang melimpah di Vietnam.”
“Jangan lupa, Kang. Sepak bolanya pun sepertinya belakangan ini sering mempermalukan tim Merah-putih,” Jang Maman menimpali. Kang Usman mengangguk.
“Bisa jadi ada yang salah pada bangsa kita ini...” gumam Kang Usman.
“Jelas. Memang karena bukan lagi ada, tapi banyak salahnya !” sergah Jang Dudung. “Seperti misalnya kesalahan pada diri kita saja... Kita sendiri yang ngakunya sebagai petani, apabila di musim kemarau sawah kita tak bisa ditanami padi, sepertinya kita lebih memilih nongkrong di warung kopi daripada berusaha mencari alternatif lain untuk mengusahakan sawah yang kering cocoknya ditanam apa agar tetap menghasilkan. Bukankah PPL (Petugas Pertanian Lapangan) sering menganjurkan untuk melakukan pola tanam berselang, saat sedang ada air, ya ditanami padi, dan ketika musim kemarau beralih dengan palawija. Apalagi sawah tadah hujan seperti di wilayah desa kita. Tapi ternyata kita juga yang degil, keras kepala. Padahal kalau ditanami kacang kedele, bila dibandingkan dengan harga beras, katanya lebih mahal kedele.”
“Yang dikatakan Jang Dudung memang benar. Sebagian besar petani cenderung bercocok tanam monokultur. Kalau sudah menanam padi, terus saja padi yang diusahakannya. Padahal untuk menanam padi selama ini mereka sangat bergantung dengan adanya air. Sehingga apabila tiba musim kemarau, dan air pun mengering sudah, mereka seakan tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Maka agar kita tetap bekerja, dan sawah kita tetap menghasilkan, kita harus mampu merubah kebiasaan seperti itu. Sebagaimana Presiden jokowi bilang, revolusi mental harus dilakukan. Coba sejak kita tidak bekerja, sudah berapa besar utang kita di warung ini ?” Kang Usman menatap semua orang dengan tajam.
Ditanya demikian, ada yang tersipu, dan sebagian lagi menunduk diam. ***