Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Uji Nyali Kompasianer, Siapa Takut ?

5 Januari 2016   22:46 Diperbarui: 6 Januari 2016   00:01 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Illustrasi: yourarticlelibrary.com"][/caption]

Mungkin Kompasianer, dan pembaca lainnya, pernah mendengar percakapan seperti di bawah ini.

“Apa kamu berani melamarku pada ayahku yang dikenal galak itu ?” tanya seorang gadis pada pacarnya.

“Siapa takut ?”

Ungkapan pertanyaan balik dari dua kata yang beringkali terdengar sebagai jawaban seseorang yang mendapat tantangan untuk menghadapi suatu perkara, bisa jadi sebagaimana yang didefinisikan Ernest Hemingway: Sebagai kemuliaan di bawah tekanan.

Meskipun hatinya ketar-ketir, tapi pemuda itu pun memberi jawaban yang mantap dan meyakinkan,  begitu percaya diri, bahkan terkesan ada aksen kesombongan. Bagaimanapun dia sangat mencintai gadis itu, dan tak mau dianggap sebagai seorang lelaki pengecut oleh kekasih hatinya.

Sama halnya dengan seorang wong ndeso ketika suatu saat dipercaya sebagai menjadi jubir dalam suatu acara pertemuan dengan pejabat dari kota yang kebetulan berkunjung ke desa mereka, untuk menyampaikan aspirasi seluruh warga. Karena wataknya orang desa yang selain lugu, juga meskipun saat bicara dengan sesamanya tampak mampu berdebat apapun masalahnya, tokh bila menghadapi para pembesar tetap saja lidahnya kelu, dan keringat keluar seluruh pori-pori kulit , ditambag lagi dengan dengkul yang gemetaran (Warisan dari jaman feodal masih melekat memang).

“Sudah siapkah kamu untuk bicara dengan yang mulia anggota dewan itu ?” tanya seorang warga.

“Siapa takut ?” jawab orang yang dipercaya sebagai juru bicara dalam acara itu.

Bisa jadi tekanan yang dimaksud pengarang cerpen, dan penerima hadiah Nobel bidang kesusasteraan dari negeri Paman Sam itu, dalam kasus wong ndeso itu adalah karena dia sudah kadung mendapat kepercaan dari seluruh warga desanya.

Sementara permasalahan selanjutnya, baik dalam kasus pemuda dengan pacarnya, ketika berhadapan dengan calon mertuanya, maupun perkara yang dihadapi warga desa itu, ketika sudah berhadapan dengan pembesar itu, tergantung pada kesiapan ‘nyali’ masing-masing. Apakah keduanya memang sungguh-sungguh  berani menghadapi tantangan yang diberikan kepadanya?

Yang jelas, bicara tentang nyali, atawa keberanian, sebagaimana dimaknai oleh Jakob Sumarjo, budayawan dan juga eseis, sebagai sikap untuk bertahan atas prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan yang membuatnya tidak populer dan kehilangan.

Bagi penulis – amatir maupun profesional – yang tergabung di blog keroyokan ini barangkali pernah mengalami perasaan tidak nyaman tatkala tulisannya yang diposting di Kompasiana, kemudian banyak komentar yang singgah dengan kesan penolakan atas tulisan tersebut, bahkan cenderung menyerang, mencaci-maki dan mem-bully-nya.

Bisa jadi karena  tak tahan menghadapinya, jangankan membalas komentar seperti itu, malah membacanya pun keburu pingsan,  ada di antara Kompasianer itu yang merasa takut, ngeri, sampai-sampai berhenti tidak memposting tulisannya lagi gara-gara ‘perlakuan’ semacam itu. lalu ahirnya minat untuk menulis pun ikut-ikutan ‘mati’ pula karenanya.

Kasus seperti itu tidak hanya dialami orang lain, saya sendiri seringkali mengalaminya. Akan tetapi di saat diri goyah, bahkan sampai terkapar tanpa daya, saya selalu diingatkan dengan nasihat salah seorang penulis yangbernama Harper Lee, nama lengkapnya Nelle Harper Lee, penulis Amerika yang terkenal akan bukunya To Kill a Mockingbird, yang mengatakan: Aku menyarankan siapa saja yang ingin memiliki karier dalam bidang kepenulisan untuk menebalkan kulit mereka sebelum mengembangkan bakat mereka.

Maka apa pun yang terjadi terjadilah. Tokh saya ini sedang belajar. Belajar mengeja. Maka wajar bila tulisan kita banyak kekurangannya. Dan wajar pula banyak penonton, eh pembaca yang mencemoohkannya. Dan pilihannya sekarang, mau nggak bisa menulis seperti Emha Ainun Najib, Putu Wijaya, Arswendo Atmowiloto, dll... atawa lebih baik mundur teratur, atawa mati saja sekalian ?

Semua kembali pada diri Anda.

Tapi... Siapa takut ?!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun