Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(FR) Sympathy for the Devil

15 Juli 2015   23:40 Diperbarui: 15 Juli 2015   23:40 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berkeliling di sekitar taman ini. Kulihat begitu banyak orang yang menghabiskan waktu di sini. Mereka bilang: Ngabuburit. Menunggu waktu tibanya azan Maghrib. Untuk kemudian makan-minum setelah seharian berpuasa.

Sekilas tampak orang-orang itu sebagai manusia yang takwa – begitu ta’atnya melaksanakan perintah Yang mahakuasa. Atawa paling tidak mereka sedang berjuang dalam rangka melatih diri mengekang nafsu angkara murka yang senantiasa akrab menemaninya.

Akan tetapi di pojok sana sepasang muda-mudi yang jelas belum pernah naik ke pelaminan, begitu asyiknya bermesraan. Keduanya saling berdekapan, dan terkadang bibir si pemuda tanpa ragu lagi mendarat di bibir si pemudi mesra sekali.

Sementara di sudut lain di pojok taman ini, kulihat orang-orang berkerumun. Saat kuhampiri, ternyata orang-orang itu sedang mengadu untung. Bisa jadi mereka berharap siapa tahu hartanya jadi berlipat, dan sisanya bisa juga untuk berzakat.

Aku tertawa melihatnya. Dadaku terasa lega. Apalagi saat mendengar beberapa orang sedang berkumpul sambil bercengkerama. Kelompok diskusi agama, aku mereka. Tapi dalam kenyataannya kelompok itu malah menista, dan menghujat pihak lain yang dianggap musuhnya.

Aku terbahak-bahak. Sampai membuatku kadang tersedak. Tapi, sungguh, aku merasa puas. Bagimanapun aku tak akan pernah kesepian kelak. Karena tidak hanya yang di taman ini saja yang nanti akan bersamaku di akhirat.

Sebagaimana tadi pagi aku berkeliling ke pasar tradisional, menyaksikan transaksi jual-beli antara pedagang dengan pembeli. Meskipun dalam menentukan harga para pedagang itu bersumpah atas nama Tuhan, tapi terkadang kulihat mereka mengurangi timbangan. Begitu juga di antara para pembeli, kulihat banyak juga yang membeli satu macam barang belanjaan, tapi tanpa sepengetahuan pedagangnya pembeli itu memasukkan beberapa macam barang jualan ke dalam keranjang.

Setelah lelah berkeliling di pasar, aku masih menyempatkan diri singgah ke gedung dewan perwakilan. Kebetulan di sana para anggota dewan sedang melaksanakan persidangan. Konon membahas suatu peraturan perundang-undangan. Hanya saja saat kuperhatikan, anggota dewan yang di mimbar saja yang aktip berbicara. Sedangkan mereka yang duduk di kursi malah tertidur begitu lelap sekali.

Sungguh. Melihat keadaan yang demikian, aku tak sangsi lagi. Sorga yang dijanjikan tentu saja nantinya akan lengang sekali. Jauh berbeda dengan neraka yang dikatakan mereka begitu mengerikan, dalam kenyataannya akan penuh sesak oleh mereka yang, paling tidak lebih suka berteman denganku – tentu saja. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun