Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(FR) Besok Shalat Sunat Dimana?

14 Juli 2015   23:50 Diperbarui: 14 Juli 2015   23:50 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dalam hidup ini begitu banyak pilihan memang.

Seperti malam ini, usai berbuka puasa bersama keluarganya, Kang Sarpin menjadi bingung hendak berbuat apa. Sementara perutnya terasa bagaikan petasan jumbo yang dibakar, dan untuk beberapa saat siap untuk meledak. Betapa tidak. Sewaktu tadi berbuka puasa, setelah meneguk segelas air putih sampai tandas, dia langsung menyambar semangkuk kolak pisang jatahnya yang dibeli istrinya dari pedagang keliling tadi sore.

Tak memakan waktu sepuluh menit, mangkuk yang semula isinya hampir meluber itupun yang tinggal menyisakan sedikit  cairan gula pemanis, ditaruh kembali ke atas meja di hadapannya.

Dengan pandangan sedikit liar, melihat lauk-pauk yang terhidang, dan hal itu merupakan pertama kalinya terjadi selama bulan Ramadhan ini – banyak hidangan yang mengundang selera, Kang Sarpin pun kemudian mengambil piring kosong. Lalu mengisinya dengan nasi putih, di atas nasi sebuah goreng paha ayam dan pepes ikan mas seukuran seperempat kilogram. Ah, rupanya di atas nasi dalam piring yang dipegangnya itu tampak masih ada tempat parkir yang masih kosong. Diapun menyendok sambal tomat kesukaannya, biar semakin menambah selera.

Akibatnya, terasa perutnya bagaikan hendak meledak, karena telah terisi penuh sesak. Bernapas pun seperti orang sedang menanjak. Sementara tubuhnya dibuat sulit untuk bergerak. Kang Sarpin mengisi perutnya kelewat kenyang memang. Padahal malam ini mestinya segera berangkat ke mushala untuk shalat Isya. Setelah itu disambung bersama-sama untuk mengumandangkan takbiran. Karena besok hari adalah tibanya hari raya Iedul Fitri.

Apa boleh buat. Di ruang depan Kang Sarpin duduk di atas kursi sendirian. Di ruang tengah anak-anaknya ramai merencanakan kegiatan besok hari yang akan dilakukan. Sementara istrinya kembali sibuk di dapur mempersiapkan hidangan untuk merayakan hari kemenangan. Suara takbir lewat pengeras suara dari masjid di berbagai penjuru sudah mulai terdengar berkumandang. Dan di luar rumah anak-anak tetangga riuh-rendah sambil membakar kembang api dan petasan.

Kang Sarpin terhenyak. Sementara pikirannya meloncat-loncat. Setelah shalat Subuh, langsung mandi dan mengenakan baju koko terbaru berikut kain sarung yang sering diiklankan di televisi. Hanya saja yang jadi masalah, melaksasanakan shalat sunat Iedul fitrinya di masjid mana.

Itulah masalahnya.

Pilihan pertama yang singgah di kepalanya adalah masjid DKM 2 yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya. Alasannya tak lain karena selain sebagai tempat ia menunaikan shalat Jum’at setiap minggu, di hati Kang Sarpin terselip niat untuk sedikit memamerkan pakaian lebaran tahun ini. Karena menurut istrinya, model yang dibelikannya itu merupakan model terbaru. Bisa jadi para tetangga dan jamaah di masjid itu belum ada yang memilikinya. Tapi... kira-kira siapa nanti yang akan berkhotbah di masjid DKM 2 kali ini. Jangan-jangan yang tampil di mimbar adalah ustaz Saleh. Karena sepengetahuan Kang Sarpin ajengan dan ustaz yang lain biasanya akan mendapat tugas untuk berkhotbah di masjid lain yang tersebar di pelosok desanya. Dan karena ustaz Saleh dianggap paling senior, ditambah usianya sudah semakin tua, maka dia akan bertahan di masjid DKM 2.

Hanya saja biarpun namanya Saleh, tapi di mata Kang Sarpin ustaz yang satu ini ucapan dan kelakuannya seringkali bertolak belakang. Hmpir di setiap khotbahnya, ustaz Saleh ada saja jamaah yang kena sentil dan sindir ucapannya. Termasuk Kang Sarpin sendiri.

Gara-gara diri Kang Sarpin yang saban menyabit rumput untuk kambingnya di kebun orang juga yang menjadi masalahnya. Cuma menyabit rerumputan liar. Sama sekali tidak mengambil dedaunan pohon alba, atau jati putih yang sengaja ditanam si empunya. Tidak. Karena Kang Sarpin juga tahu itu sama dengan mencuri dan merusak tanaman milik orang. Selain hukumnya haram, diapun merasakan, bagaimana kalau tanaman di kebunnya dicuri orang. Dalam khotbahnya pada Jum’at di bulan pertama Ramadhan, ustaz Saleh mengatakan, bahwa orang yang menyabit rumput di kebun orang lain tanpa seijin si empunya, itu sama saja dengan mencuri. Yang namanya pencuri, baik menurut agama maupun negara, maka harus mendapat hukuman.

Ketika berkhotbah, ustaz Saleh tidak menunjuk langsung terhadap Kang Sarpin memang. Tapi pada siapa lagi omongan ustaz Saleh ditujukan kalau bukan pada dirinya. Karena di kampungnya yang memiliki ternak kambing hanya Kang sarpin seorang. Apalagi ketika itu banyak jamaah yang menoleh ke arahnya. Kang Sarpin merasa dipermalukan, tentu saja. Dan hatinya merasa sakit sampai sekarang. Jadi lebih baik besok shalat sunat Iedul fitri ke masjid lain saja daripada mendengarkan khotbah ustaz Saleh yang sudah dianggap sebagai musuhnya.

Ah, sebaiknya shalat sunat di masjid DKM 3 saja. Biar jaraknya lumayan jauh, tapi telinganya akan merasa aman dan tenteram. Cuma untuk menuju ke masjid DKM 3, Kang Sarpin mau tidak mau harus melewati rumah Mang Juned. Padahal antara keluarga Mang Juned dengan keluarganya sudah dua Iedul Fitri – dengan besok hari berarti menjadi tiga, masih memendam dendam. Alias bemusuhan. Yang jadi akar permasalahannya adalah karena dibatalkannya pernikahan antara anak gadis Kang Sarpin oleh anak bujang Mang Juned. Dan tanpa minta maap sebagaimana mestinya, anak bujang Mang Juned itu tak lama kemudian menikah dengan anak gadis dari kampung sebelah. Melewati di depan rumah keluarga Mang Juned sejak itu seolah diharamkan oleh Kang Sarpin berikut keluarganya. Bagaimanapun sikap keluarga Mang Juned merupakan suatu penghinaan, dan seolah telah menginjak-injak kepalanya. Sepertinya bagi Kang Sarpin tak sudi untuk memaapkan biar sampai tujuh turunan.

Kang Sarpin pun bingung juga karenanya. Tak tahu besok hari akan shalat Ied dimana. Hanya saja yang jelas, tiba-tiba telinganya menangkap suara centang-perenang bersama celoteh suara anak-anaknya. Lalu ketika matanya terbuka, cahaya matahari pagi menyergap langsung wajahnya yang menerobos kaca ruang depan tempat dia berada.

Sesaat Kang Sarpin tersadar. Lalu wajahnya menengadah ke dinding. Tampak jarum jam yang tergantung di sana menunjuk pada angka delapan. Wah ! ***

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun