Secawan anggur merah telah kusiapkan di atas meja persembahan. Untuk pelepas dahagamu usai menempuh perjalanan jauh yang sudah pasti sangat melelahkan. Setangkai mawar berwarna merah darah yang kupetik tadi siang, dan di senja tadi telah kutaruh di jambangan. Kehadiranmu pun sudah tentu akan kusambut dengan peluk-cium hangat penuh kemesraan. Lalu kita habiskan malam ini hanya untuk kita berdua saja, sama sekali tak pernah ada orang ketiga di antara kita. Kecuali rembulan dan bintangbintang di atas sana, serta semilir angin yang menyaksikannya.
O, sepanjang malam aku terlena di dalam pelukanmu. Dengus napasmu yang penuh gelora, menyapu rambut dan wajahku. Tanganmu yang nakal, sudah pasti akan membuatku menggelinjang. Apalagi bisikan suaramu di dekat telingaku begitu mesra, dan membuatku semakin terlena. Kamu memang begitu pandai membuatku terhanyut dalam perangkap cinta dan berahi yang panas membara. Sehingga membuatku semakin lupa akan segalagalanya.
Aku membayangkan, tubuh kita melebur satu, lalu kau taburkan benih kejantananmu dalam rahimku. Tak lama kemudian kau terkulai lemas di sampingku dengan dengus nafas yang tinggal satusatu. Sementara aku menghela nafas bahagia, karena cinta kau telah curahkan segalanya. Malam ini kita reguk bahagia. Bahagia yang sangat bahagia, dan di atas segalanya.
Cinta tak pernah mengenal ruang dan waktu memang. Tetapi sungguh, hanya di saat malam seperti sekarang ini saja aku selalu berharap dirimu untuk datang. Dan tidak di waktu lain meskipun kau memiliki waktu yang lumayan senggang. Datanglah, sayang! Kedatanganmu begitu sangat aku nantikan. Sungguh, aku sungguhsungguh merindakanmu. Rindu akan cinta dan kehangatan yang kau curahkan.
Terusterang, setiap gemersik dedaunan yang tertiup angin, selalu membuatku untuk berpaling. Di bibirku senyum mesra pun sudah tersungging. Karena kusangkakan dirimu diamdiam telah hadir. Tetapi memang itu hanyalah bunyi gemersik dedaunan yang tertiup angin. Aku pun merasakan kian menggigil, angin menerpa terasa semakin dingin.
Apalagi ketika malam merangkak ke tepian, dan dingin semakin melilit. Harapan akan kehadiranmu sirna sudah, dan nasib semakin membawaku ke tubir sempit. Engkau hanyalah bayangbayang fatamorgana memang. Harapan tak sekalipun menjadi kenyataan.
Ketika siangsiang yang panas memanggang, dan aku sedang terbujur di pembaringan, kaupun datang dengan bunga harum mewangi di tangan. Sungguh. Padahal sudah kukatakan, kehadiranmu tidaklah terlalu kuharap. Karena bukan di waktu yang tepat. Bagaimanapun di waktu siang aku memang butuh waktu untuk istirahat.
Sungguh. Aku hanya mampu menyaksikan dirimu menaburkan bunga yang harum mewangi itu di atas pusaraku. Aku tak mampu menyambut kehadiranmu sebagaimana yang kuimpikan tadi malam. Tapi saat tanganmu mengusap batu nisanku, dan berbisik, “Aku selalu mencintaimu...” tanpa terasa senyumku merekah penuh kebahagiaan.
O. andaikan saja... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H