Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik

Katanya Negara Demokrasi, Tapi Koq Seperti Monarki

27 Februari 2013   14:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:36 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sungguh. Saya begitu terkejut. Anak saya yang duduk di bangku kelas enam SD, usai nonton tayangan berita di layar kaca,  tiba-tiba saja nyeletuk seperti itu. Bahwa Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) adalah putera kedua dari Presiden SBY. Dalam Partai Demokrat, saat ini Ibas menjabat Sekretaris Jenderal DPP Partai yang saat ini sedang ramai dibicarakan itu. Sedangkan  Pak SBY sendiri merupakan Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi di partai yang sama.

“Apa itu bukan KKN namanya, atau apa memang Indonesia ini telah berubah menjadi sebuah kerajaan?”  anak saya melempar pertanyaan lagi.

Sungguh. Dua pertanyaan tadi tak mampu saya jawab. Saya merasa bingung dibuatnya. Tak tahu harus menjawab apa. Apa boleh buat, lebih baik saya pura-pura masih asyik menyimak tayangan  yang terpampang di televisi saja.

Hanya saja saya semakin kebingungan ketika di layar kaca muncul Puan Maharani, puteri mantan Presiden Megawati. Bagaimana kalau anak saya kembali mempertanyakan ihwal Puan Maharani yang menjabat Ketua DPP PDIP, sementara Megawati sendiri adalah Ketua Umum Partai berlambang banteng hitam dengan moncong putih itu.

Maka saya pun pura-pura sudah tak mampu lagi menahan kantuk. Kemudian ngeloyor masuk ke kamar tidur.

Sungguh. Baru pertama kali itu saya tak bisa menjawab pertanyaan anak saya. Perasaan berdosa pun langsung menyergap. Betapa tidak, saat di sekolahnya akan diadakan pemilihan ketua kelas, dan anak saya oleh teman-temannya dicalonkan untuk jadi pemimpin mereka, sebelumnya anak saya minta saran dan pendapat dari saya.

Maka saya pun saat itu menguraikan makna Pancasila yang pernah dipelajari di sekolah, juga ketika mengikuti penataran P4 di jamannya Orde Baru. Tata cara berdemokrasi itu di antaranya ada dalam butir dasar negara Indonesia itu.

Malahan saya tambahkan juga, kalau kelak terpilih sebagai ketua kelas, maka mesti menjauhi sikap-sikap yang tidak terpuji. Di antaranya jangan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) seperti yang dikumandangkan di awal era reformasi itu.

Sementara yang disaksikannya sekarang ini, fenomens yang terjadi di negeri ini, manakala orang tuanya berkuasa, maka keluarga atawa anaknya pun turut serta ‘mendompleng’ di belakangnya. Seperti Ibas kepada SBY, seperti Puan Maharani kepada Megawati, juga seperti Ridwan Hakim yang diduga memanfaatkan nama Ustadz Hilmy Aminudin, ketua Dewan Syura PKS dalam kasus sapi impor itu.

Demikian juga halnya beberapa Bupati/Walikota yang sudah dua periode masa jabatannya, maka istri atau anaknya diikut-sertakan dalam pemilukada untuk melanjutkan singgasana kepemimpinannya.

Kalau dipikir-pikir, omongan anak saya itu memang demikianlah kenyataannya. Demokrasi hanyalah ‘pemanis bibir’ saat orasi saja. Karena dalam kenyataannya, identik dengan monarki. Alias kerajaan yang kekuasaannya begitu absolut.  Istri dan anak ikut serta selagi kesempatan masih ada. Agar kekuasaan tetap langgeng adanya dalam dinasti keluarganya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun