Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Deudeuh Teuing*... Bahasa Sunda Pun Ditendang Kurikulum

26 Desember 2012   09:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:01 3291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

BAHASA Sunda yang merupakan pelajaran mulok (muatan lokal), yang diajarkan di daerah Jawa Barat, dalam Kurikulum 2013 ternyata tidak lagi dicantumkan. Dengan alasan mengingat daerah di Indonesia saat ini sudah heterogen, sehingga penggunaan bahasa Indonesia lebih baik daripada  bahasa Ibu atau daerah.

Pernyataan yang dikemukakan Ketua tim Pengembangan kurikulum 2013, Hamid Hasan itu sudah tentu menuai keprihatinan berbagai kalangan, termasuk  guru maupun calon guru lulusan jurusan bahasa Sunda di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) sana. Karena mereka sudah tentu tidak akan memiliki kesempatan lagi mengamalkan ilmu yang dipelajarinya sekitar empat tahun itu.

Selain itu, bahasa, seni dan budaya Sunda yang memperkaya khazanah budaya Indonesia, lambat laun akan hilang musnah dari kehidupan. Padahal secara historis, tidak mungkin ada budaya Indonesia kalau tidak ada budaya Sunda sebelumnya. Sebagaimana bahasa, seni dan budaya etnis lain yang bertebaran di wilayah Indonesia ini, yang memberi sumbangsih yang sedemikian besarnya untuk pembentukan seni budaya Indonesia sekarang ini.

Oleh karena itu betapa naifnya seorang cendekiawan di Kementerian Pendidikan Nasional yang seolah kacang lupa pada kulit itu. Mereka tampaknya telah melupakan asal-usul dirinya sendiri , juga menendang sejarah yang mengawali kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta ini.

Padahal sampai saat ini bahasa daerah masih merupakan bahasa Ibu. Bahasa yang pertama kali diperkenalkan ketika seseorang mulai menghirup udara kehidupan di dunia ini. Sebagaimana halnya bahasa Sunda di tatar Parahiyangan, merupakan bahasa yang pertama kali diajarkan kepada seorang bayi oleh ibunya.

Bagi masyarakat Tatar Sunda, tentu mengenal ungkapan Hao hakeng... Hao hakeng... yang hingga rambut di kepala penulis berubah jadi putih semua seperti saat ini, makna dari ungkapan itu belum jelas maksudnya. Dan saat dicukcruk (ditelusuri) ada yang memaknai ungkapan itu sebagai bentuk dari dua kata: Alloh Maha Langgeng (Tuhan Maha abadi), ada juga yang menganggap sebagai pembelajaran mengucap kata kepada bayi.

Hanya saja yang jelas, bagi penulis yang pituin urang Sunda, maksudnya keturunan langsung dari ayah dan ibu etnis Sunda, dilahirkan di daerah sekitar yang sehari- harinya berbahasa Sunda, sudah tentu merasakan begitu besar artinya bahasa Sunda dalam kehidupan ini. Bahkan di saat mengungkapkan kereteg hate (suara hati), terasa lebih afdol dan bermakna bila diungkapkan, baik secara lisan mapun tulisan,  dengan bahasa Sunda.

Selain merupakan bahasa ibu, karena bahasa Sunda begitu kaya dengan ungkapan-ungkapan yang sulit dicari maknanya di dalam bahasa Indonesia sendiri. Seperti misalnya seorang pemancing ikan yang mengucapkan ungkapan clom giriwil, atau juga seorang yang yang pergi dan tidak pernah kembali lagi diungkapkan dengan kata-kata lep buleneng, merupakan kekayaan budaya yang begitu besar maknanya.

Bahkan aspek etika maupun sopan-santun pun sangat diperhatikan dalam penggunaan bahasa Sunda. Dalam bahasa itu dikenal dengan istilah undak-usuk basa, yang maksudnya tidak boleh sama bila seseorang mengungkapkan sebuah kata kepada orang yang yang dihormat (guru, orang tua, dan pemimpin), dengan yang diungkapkan kepada sesama atau lebih muda usia dari dirinya. Sedangkan di dalam bahasa Indonesia, hal seperti itu tidak akan ditemukan.

Maka kekhawatiran dan keprihatinan akan tercerabutnya unsur bahasa, seni dan budaya Sunda dari kehidupan warga di Tatar Sunda pun semakin jelas akan terjadi tidak lama lagi. Demikian juga karakter asli bangsa Indonesia secara perlahan akan tergerus budaya global. Dan ungkapan Sunda jaya di buana pun hanya tinggal puing-puing yang tak jelas maknanya.

Kasihan sekali. ..***

*Deudeuh teuing = Kasihan sekali

Gegerbeas, 26/12/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun