MENYIMAK tulisan Karno Kartadibrata, salah seorang budayawan Sunda dalam majalah Mangle Online, yang mengutip pernyataan Ginanjar Kartasasmita, salah seorang inohong Jawa Barat yang malang-melintang di jaman pemerintahan Orde Baru, hati saya menjadi miris dibuatnya.
Betapa tidak. Seorang Ginanjar Kartasasmita, yang termasuk tokoh nasional ini dengan lugas dan  tanpa tedeng aling-aling telah menelanjangi kondisi Jawa Barat sekarang ini. Dikatakannya Jawa Barat tidak termasuk sepuluh besar propinsi yang berhasil di dalam pembangunannya. Padahal propinsi dengan penduduknya yang sebagian besar berasal dari etnis Sunda ini merupakan propinsi yang sangat dekat dengan pemerintahan pusat.
Lalu muncul pertanyaan, apa saja kerjanya Gubernur dan Wakil Gubernurnya, duet Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf Macan Efendi  selama ini? Apakah mereka hanya sibuk mempersiapkan diri untuk maju ke Pilgub yang bakal digelar 2013 mendatang, atau masih terkesima menduduki kursi Gubernur dan Wakil Gubernur yang belum pernah dirasakan sebelumnya?
Entahlah. Yang jelas konon pembangunan di propinsi Jawa Barat tidak merata. Dan menyebabkan masyarakat di wilayah utara dan selatan masih banyak yang belum tersentuh oleh pembangunan. Demikian juga angka kematian anak dan ibu masih cukup tinggi, yang artinya pembangunan di bidang kesehatan pun sami mawon belum maksimal. Artinya tingkat kesejahteraan warganya pun tidak merata, jauh dari harapan.
Bahkan yang jelas hati saya kian miris bercampur malu, manakala Ginanjar Kartasasmita menuding etnis Sunda, yang notabene etnis yang melahirkan dirinya juga, sebagai etnis yang memiliki mentalitas aing-aingan ( individualistis) alias tidak memiliki kekompakan (solid) di dalam menghadapi sesuatu masalah.
Ginanjar pun membandingkannya dengan etnis Bugis dan Makasar yang begitu jelas sikapnya di saat pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie ditolak sidang MPR. Sementara urang Sunda bila salah satu warganya maju tandang makalangan, yang lainnya bukannya mendukung. Justru malah mentertawakan, bahkan saling ngajongklokeun (menjerumuskan)pada kehinaan.
Saya pun semakin malu dengan pendapat beberapa teman dari etnis lain yang mengatakan bahwa urang Sunda termasuk masyarakat yang mata duitan, dan tidak memiliki kemantapan berideologi di dalam berpolitik. Teman-teman saya itu memebeberkan fakta yang sulit saya bantah. Di saat menjelang pemilu, maupun pemilukada, bagi sebagian besar warga Jawa Barat merupakan musim lelang suara bagi para kompetitor. Siapa yang berani membayar lebih besar, maka dialah yang akan tampil jadi pemenang. Sementara masalah kapabelitas, kredibelitas,maupun integritas calon bisa jadi nomor sekian di mata mereka.
Malahan di samping itu, ada pula teman-teman dari etnis lain yang mengatakan bahwa urang Sunda, warga Jawa Barat, termasuk orang yang mudah tersihir oleh gemerlap panggung drama sinetron di layar kaca. Mereka menunjuk buktinya, beberapa calon Gubernur dan wakil Gubernurnya adalah pemain sinetron yang malang-melintang di televisi. Padahal yang namanya sandiwara, belum tentu sesuai dengan realita.
Betulkah semua tudingan itu?
Entahlah. Yang jelas saya sendiri keburu malu sekali... ***
Gegerbeas,23/12/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H