Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

ABG pun Diembatnya Pula Oleh Perempuan Separuh Baya Itu

5 Desember 2012   13:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:09 3977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETIKA sore itu tiga orang remaja ABG berkunjung ke rumahnya, suami Bu Umi menyangka mereka adalah teman sekolah anaknya yang bungsu. Tapi saat Rido, anak bungsunya yang masih duduk di bangku SMK kelas dua menemui mereka, langsung menyatakan tidak mengenal tetamunya itu. Maka suami Bu Umi dengan penuh kebapakan menanyakan maksud kedatangan tiga remaja ABG itu.

Alangkah terkejutnya suami Bu Umi mendengar jawaban salah seorang tetamunya. Mereka bertiga ternyata ingin bertemu dengan istrinya. Karena sebelumnya ketiga remaja dari kampung sebelah itu sudah janjian dengan Bu Umi akan jalan-jalan ke kota. Lelaki berusia 60 tahun itu kaget bukan alang-kepalang, usia istrinya yang lebih muda lima tahun dengan dirinya bergaul dengan ABG-ABG itu. Ada apa ini?

Maka suami Bu Umi pun langsung menghampiri istrinya yang berada di dapur. Begitu melihat wajah Bu Umi langsung pucat, dan tubuh gemetaran, suaminya tak syak lagi dengan dugaan yang sejak lama disimpan dalam hatinya. Juga sebagaimana desa-desus yang beredar di luar kalau istrinya itu memang suka ‘melayani’ hasrat syahwat lelaki lain. Termasuk tiga orang ABG yang ada di ruang tamu.

Memang benar. Setelah didesak, Bu Umi mengakui segala keakuannya selama ini. Bahkan sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Dengan berkacak pinggang Bu Umi jadi seperti menantang. Telunjuknya menuding hidung suaminya sambil berkata, “Aku melakukan semua itu karena kamu sudah lumpuh. Tidak mampu menafkahiku lahir dan batin. Coba kamu pikir, dari mana selama ini makanan yang masuk ke perutmu. Padahal kamu saban hari hanya ongkang-ongkang kaki saja. Tidak lagi mencari nafkah seperti lima tahun yang lalu. Maka daripada keluarga kita kelaparan, terpaksa aku menjual diriku.”

Mendengar kata-kata istrinya tadi, suami Bu Umi bagaikan api yang disiram air. Yang semula berkacak pinggang penuh amarah, sekarang diam tidak berkutik sama sekali. Dan hatinya merasakan seperti disayat-sayat sembilu. Semua kata-kata Bu Umi sedikit pun tidak akan ditentangnya.

Memang sudah sekitar lima tahun ini dirinya tinggal di rumah saja. Tanpa kegiatan apa-apa.  Setelah peristiwa tabrakan di Jakarta. Saat mengendarai sepeda motor dalam perjalanan mengantarkan pesanan barang kepada para pelanggannya. Sejak muda suami Bu Umi adalah tukang kiridit yang lumayan sukses. Dan di hari itu naas baginya. Sepeda motor yang dikendarainya bertabrakan dengan metromini dari arah berlawanan. Kakinya patah dan harus mengalami cacat seumur hidup. Sehingga praktis sejak peristiwa itu suami Bu Umi tidak lagi bisa melanjutkan usahanya. Yang paling menyakitkan syaraf-syaraf kejantannya pun ternyata ikut terganggu. Maka sejak itu pula dirinya tidak pernah tidur bersama dengan Bu Umi sebagaimana layaknya suami-istri.

Harga diri suami Bu Umi sebagai seorang lelaki ambruk sudah seketika. Apalagi ketika Bu Umi meninggalkan dirinya yang berdiri mematung, dengan wajah menunduk termangu-mangu.  Ditambah ketikatelinganya mendengar tawa riang istrinya di ruang tamu. Dan tak lama kemudian terdengar derum sepeda motor meninggalkan halaman rumah. Tanpa sadar, suami Bu Umi menangis tersedu-sedu. Meratapi nasibnya yang buruk itu.

Sementara itu anak bungsunya, Rido yang menyaksikan peristiwa itu langsung mencaci-maki Bu Umi. Malahan melarangnya untuk tidak kembali lagi. “Biarlah tidak punya ibu juga kalau kelakuannya hanya membuat malu keluarga saja,” umpat Rido.

Keluarga itu memiliki anak tiga. Dua laki-laki, dan seorang gadis. Anak sulungnya yang laki-laki, dan yang kedua seorang gadis itu sudah bekerja. Sementara yang bungsu masih bersekolah di SMK, duduk di kelas dua. Bu Umi yang sudah separuh baya itu sejak lama dikenal sebagai seorang perempuan ‘gatal’ memang. Sejak suaminya masih jadi tukang kridit di Jakarta malahan.

Hanya saja mungkin tetangga di kampung kami tidak ada yang berani menyampaikan kelakuan Bu Umi itu kepada suaminya. Mereka mungkin tak ingin melihat rumah tangga keluarga itu jadi berantakan. Dan setelah suaminya menyaksikan dengan mata-kepalanya sendiri, barulah desas-desus di kampung  kami itu saat ini mencuat ke permukaan.

Setelah peristiwa itu, rumah keluarga Bu Umi selalu tampak sepi. Seperti tanpa penghuni. Mereka jarang memperlihatkan diri. Apalagi anak gadisnya, sama sekali tidak lagi tampak keluar rumah. Padahal dia sudah bekerja. Mungkin perasaannya sangat terpukul dengan kejadian itu.

Fenomena kejadian di atas tadi, ternyata bukan sekedar lakon sinetron di layar kaca saja. Juga tidak hanya terjadi di kota besar saja. Di tempat tinggal saya yang masih disebut pelosok desa, beberapa minggu yang lalu terjadi dalam sebuah keluarga. Keluarga Bu Umi itu.

Dan mendengar kabar itu, saya hanya mampu mengurut dada. Apakah ini yang dinamakan jaman edan itu, atau memang orang-orangnya sudah pada edan? Sudah tua begitu masih saja menjajakan diri. Mana di kampung lagi. ***

Gegerbeas, 05/12/2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun