Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar Menjadi Seorang Penulis/Pengarang

17 Februari 2012   10:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:32 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329476057256776463

[caption id="attachment_161744" align="aligncenter" width="448" caption="Anak asuhku, belajar membaca dan menulis"][/caption]

Saya kaget juga, sekaligus merasa bahagia. Anak saya, Ghea (10) tiba-tiba bilang, “Pak, Iya (Panggilan sehari-harinya Ghea) mau belajar mengarang sama Bapak, bisa ‘kan Pak?”

Saya terpana seketika mendengar permintaannya. Ketiga orang kakaknya belum pernah mendengar ada permintaan seperti dia. Baru anak yang keempat inilah saya mendengar permintaan semacam ini. Dan tanpa terasa mata saya berkaca-kaca.

“Mengapa Iya minta Bapak yang mengajari, ‘kan di sekolah pun ada pelajaran mengarang?” Tanya saya ingin tahu alasannya.

“Iya dan teman-teman sering baca tulisan Bapak di koran dan di Kompasiana. Kata Ibu guru kalau belajar sesuatu harus sama ahlinya. Tiap hari Iya lihat Bapak kerjanya menulis. Boleh ‘kan, Pak ?” demikian polos dan lugu permintaannya.

Terus terang, perasaan saya saat itu bercampur-aduk tidak karuan.

Ada rasa bangga dan bahagia. Betapa gadis kecil saya sudah tahu dan menghargai pekerjaan ayahnya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan saya, ternyata dia suka membaca tulisan saya yang tercecer di koran lokal tempat saya bekerja, dan di Kompasiana tempat mencurahkan rasa dan pikiran yang juga disalurkan dalam bentuk tulisan.

Selain itu muncul juga rasa takut dan bingung yang tidak menentu. Takut tidak mampu meluluskan permintaan gadis kecil saya itu. Karena kemampuan saya yang masih demikian terbatasnya. Tokh selama ini saya pun masih belajar. Bahkan sepertinya lebih baik minta dibelikan boneka Cinderella daripada harus mengajarinya untuk belajar mengarang. Sungguh. Harus bagaimana mengatasinya ?

Malam harinya permintaan gadis kecil saya itu didiskusikan dengan mamanya. Ibu anak-anak.  Istri saya. Dan istri saya justru mendukungnya. “Daripada seharian nonton teve, lebih baik ada kegiatan yang bermanfaat,” katanya.

“Tapi saya  juga ‘kan masih belajar. Lagipula apa bisa saya mengajarinya?”

“Ya dicoba saja dulu.”

Betul. Saya mungkin harus mencobanya. Tapi yang pasti saya bukan mengajarinya. Paling tidak mencoba membimbingnya saja. Sekaligus hal ini saya anggap sebagai tantangan. Agar saya lebih memperdalam lagi kegiatan yang satu ini.

Akhirnya jadilah saya belajar bersama anak saya. Dan sampai tulisan ini diturunkan, sudah berjalan hampir dua bulan. Bahkan sejak satu bulan lalu, tidak hanya anak saya seorang saja yang belajar menulis. Setiap hari Jum’at dan Minggu ada dua belas anak-anak, teman bermain,  dan satu sekolahnya, berkumpul di papilyun rumah.

Adapun metode yang dilaksanakan, cukup sederhana saja, yaitu dengan cara memberi dorongan agar selalu rajin membaca, baik buku-buku cerita yang dipinjam dari perpustakaan sekolahnya, maupun koran dan majalah anak-anak yang yang biasa saya belikan untuk anak-anak saya.

Selanjutnya setelah mereka selesai membaca sebuah buku, misalnya, saya suruh mereka untuk menuliskannya dengan cara masing-masing. Sebagaimana yang saya alami waktu masih duduk di bangku kelas enam SD.

Selain itu, untuk hari Minggu, semua anak-anak asuh saya, diajak naik ke atas bukit yang tidak jauh dari rumah. Bukit Gegerbeas namanya. Dari atas bukit itu tampak  jelas pemandangan daerah sekitar. Dan anak-anak saya ajak untuk menuliskan apa yang mereka lihat, jugadengan caranya sendiri-sendiri. Maksud saya ada yang dengan bentuk puisi, atau prosa. Yang penting mereka harus menuangkan apa yang dilihat dan dirasakan.

Terus terang, selama bersama anak-anak perempuan kecil itu kadang-kadang muncul rasa jengkel juga. Terutama dengan kecerewetannya. Tapi mungkin itu tantangannya. Saya harus belajar banyak bersabar. Bahkan diam-diam muncul harapan dan impian, siapa tahu dari dua belas anak asuh saya ini akan ada yang menjadi  seorang – tapi semoga saja semuanya jadi -- pengarang terkenal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun