Malam ini kebetulan dapat giliran tugas ronda yang tidak dapat aku hindarkan. Pak RW sudah wanti-wanti sejak kemarin, seluruh warga yang sudah tercatat dalam daptar, tidak boleh absen, kecuali bagi yang sakit. Hal itu mengingat belakangan ini keamanan di lingkungan kami sedang rawan memang. Banyak ayam milik tetangga yang hilang. Menurut catatan ketua keamanan, sudah sepuluh orang warga yang melaporkan kehilangan unggas piaraannya itu.
Di pos kamling baru ada dua orang yang datang. Aku dan Si Akang, tetangga sebelah rumahku. Padahal sekarang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Regu kami tercatat lima orang. Jadi empat lagi yang belum tampak batang hidungnya. Karena sebetulnya Si Akang yang satu inipun tidak tercatat sebagai petugas ronda malam ini. Pada daptar yang terpampang, dia mendapat giliran pada dua malam sebelumnya.
“Saya mewakili Pak B yang kebetulan sedang pergi ke luar kota,” katanya menjawab keherananku.
“Dalam rangka apa dia ke luar kota?”
“Katanya sih ditugaskan dari kantornya untuk memeriksa kantor cabang perusahaan di sana.”
Sesaat kami diam.
“Kang, boleh saya bertanya?” Aku mencobamemecah kesunyian. Berdiam-diaman terus rasanya seperti lagi musuhan saja soalnya.
“Tentang apa, Pak?”
“Sebentar lagi Pak RT akan habis masa jabatannya. Sebagai wakilnya, apa Akang siap untuk dicalonkan sebagai penggantinya?”
“Wah, Bapakini ada-ada saja,” tampak dia tergelak, “Kalau memang ada kepercayaan dari warga, ya apa boleh buat. Itu amanah namanya. Tapi sebetulnya berat rasanya bagi saya untuk menyandang predikat ketua RT itu, Pak. Terutama masalah tanggung jawabnya.”
“Memang betul juga sih, tapi tugas RT ‘kan tidak seberat tugas Presiden, misalnya, yang mengurus rakyat sedemikian banyaknya. Kalau RT ‘kan hanya 75 KK (Kepala Keluarga) saja. Apa susahnya? Hitung-hitung peralihan tongkat estafet kepemimpinan, Kang. Seperti tradisi di di negera kita ini. Setiap wakil pemimpin, pasti mau jadi pemimpin beneran. Contohnya wakil bupati, kalau sudah habis masa jabatan, di periode selanjutnya sang wakil mencalonkan jadi bupati. Demikian juga wakil gubernur dan wakil presiden, seperti Pak JK …”
“Tapi ada juga wakil yang mati-matian tidak mau meninggalkan statusnya, Pak” Si Akang memotong.
“Apa itu?”
“Wakil rakyat, Pak. Itu tuh anggota Dewan. Tampaknya mereka enggan kalau ditawari jadi rakyat… Hehehe..” Si Akang dan aku tergelak.
“Ah, Si Akang ini ada-ada saja…”
Tapi kalau diingat-ingat, memang banyak juga anggota DPR yang tampaknya tidak mau jadi rakyat. Apalagi rakyat yang melarat, Sehingga mereka mati-matian berjuang untuk terus duduk di kursi dewan sepanjang hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H