Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemerintah SBY Banyak Ciptakan Koruptor Hingga ke Pedesaan

26 Januari 2012   13:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:25 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama pemerintahan SBY banyak program pro rakyat diluncurkan. Khusus yang difokuskan untuk wong cilik saja, misalnya ada yang namanya BLT, PNPM, dan sekarang ada lagi PKH. Dll. Dsb yang saya tidak hafal saking banyaknya.

Hebatlah. Emang Pak Beye sayang sama rakyat.

Hanya sayang seribu kali sayang, program-program demikian, ternyata banyak diselewengkan, ternyata yang didapat bukannya mendidik rakyat untuk meningkatkan taraf hidupnya agar dapat sejahtera, dunia dan ahirat. Yang terjadi justru malah sebaliknya. Rakyat kecil semakin tinggi sikap ketergantungannya untuk terus menadahkan tangan.  Berharap untuk terus diberi, dan dikasihani. Oleh pemerintah, tentu saja. Bahkan terus terang, budaya gotong- royong  yang diharapkan akan kembali berkembang, malah dengan segera sudah semakin jauh – lenyap dari pandangan.

Fakta ini tidak jauh-jauh saya temukan. Di desa tempat tinggal saya sendiri, hal itu sudah benar-benar terjadi.

Ketika program BLT (bantuan langsung tunai) diluncurkan, selain terjadi masalah  tidak tepat sasaran, lalu diikuti dengan upaya penyimpangan yang dilakukan aparat desa setempat, juga muncul pemalsuan data penerima. Kala itu  banyak warga yang masuk kategori mampu, ternyata ingin pula mendapat bagian. Karena ada ‘bisik-bisik tetangga’, atau entah apa pula namanya, ahirnya mereka yang mestinya ‘menyantuni’ tetangganya yang jelas-jelas tidak mampu, banyak yang ikut berpesta menikmati rasa uang BLT dari SBY.

Tidak lama setelah itu, dampak dari terjadinya program yang tidak tepat sasaran, membuat warga RTSS (rumah tangga sangat miskin)yang seharusnya mendapat bantuan, tapi dalam pelaksanaannya tidak terdata – sehingga sudah pasti tidak menerima bantuan, ketika ada kegiatan gotong-royong membersihkan lingkungan misalnya, dengan tegas merekapun  menolaknya. “Keur naon ngajak dewek, beelte oge kapanan teu kabagean. Tuh, ajak bae nu mareunang…” (Buat apa mengajak saya, beelte saja tidak kebagian. Tuh, ajak saja mereka yang dapat )

Sementara dampak adanya upaya penyimpangan, atau usaha untuk memperkaya diri sendiri, yang disebut orang korupsi, modusnya antara lain adalah data warga yang berhak menerima disembunyikan oleh aparat desa, dan kartu itu dicairkan oleh  aparat itu sendiri. Juga untuk masuk ke kantong sendiri. Sehingga sejak itu mulai muncul koruptor-koruptor  yang bergentayangan di pelosok pedesaan. Masih mending kalau satu –dua kartu, ketika ahirnya dibongkar  aparat kepolisian,  ditemukan sampai  puluhan kartu dari oknum itu.

Demikian juga halnya dalam program PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat), disinyalir celah untuk menciptakan koruptor-koruptor baru demikian menganga lebar. Terutama dalam pelaksanaan bantuan untuk pembangunan fisik. Di desa dibentuklah satuan tugas yang disebut TPK (Tim Pelaksana Kegiatan), yang rata-rata adalah para pengangguran yang ‘dekat’ dengan kepala desa. Begitu pula di tingkat kecamatan, ada wadah bernama UPK (Unit Pelaksana Kegiatan) yang sehari-hari tampak sering lebih banyak ‘ngrumpi’ kerjanya, dan sekali-sekali makan-makan bersama… Ya, di rumah makan tentunya. Dan entah bagaimana pula dengan hal itu, sampai sekarang belum ‘terendus’ penegak hukum.

Bisa dibayangkan, orang yang biasanya tidak pernah ‘pegang’ uang, suatu ketika dari ‘langit’ dijatuhkan ke tangannya puluhan – bahkan hingga ratusan juta rupiah. Sementara pengetahuan dalam pengelolaan uang, maupun sebagai pelaksana pembangunan yang masih pas-pasan, ditambah lagi kebutuhan hidup sehari-hari tidak bisa dibawa kompromi, plus keimanan yang rupanya masih belum begitu tebal, maka apa yang terjadi?  Pejabat di TPK ternyata jadi pintar menjungkir-balikkan angka-angka. Dan hasil pembangunan pun, yah tampaknya asa jadi saja.

Bahkan dalam pelaksanaan PNPM 2011 lalu, saat pembangunan sudah berjalan lewat satu bulan, bantuan dana untuk termijn kedua, dari kabupatennya ternyata ditangguhkan hingga hampir dua bulan lamanya. Secara logika, bisa saja di tingkat pemkab pun ada ‘main’ juga. Karena di daerah lain, tidak ada penangguhan sedemikian lamanya. Bunga yang disimpan di bank pasti akan berkembang, bukan?

Bagaimana dengan PKH (Program Keluarga Harapan)? Ah, ternyata sami mawon, alias tidak jauh berbeda. Dalam pelaksanaan di tingkat bawah pun yang namanya ‘permainan’ masih juga ada.  Sehingga jargon untuk mensejahterakan rakyat pun hanya wacana belaka.

Jadi apa betul, sebagaimana dikatakan orang, program-program itu hanya pencitraan saja, atau malah untuk menggiring rakyat semakin bodoh dan malas bekerja, dan menciptakan banyak koruptor hingga ke pelosok desa?

Entahlah. Yang jelas demikian adanya. Sebagai rakyat kecil, saya tidak bisa apa-apa.  Kalau ngomong banyak lagi, takutnya saya masuk bui… Ah. Sudahlah, mendingan saya diam saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun