Menelaah pemberitaan Tribunnews.com hari ini, perasaan miris sepertinya kian menjadi-jadi. Dikabarkan DPR dan pemerintah telah menyetujui adanya politik dinasti dalam rapat yang diselenggarakan pekan lalu. Apakah eksekutif dan legislatif mengalami blunder dalam melaksanakan tugasnya, atau memang hanya memakai kacamata kuda ?
Seperti yang dikatakan ketua Komisi II DPR RI, Arif Wibowo, bahwa soal itu (Politik dinasti) di pilkada tidak dipersoalkan lagi.
"Masa kalau ada orang baik yang berkompeten dihalangi mencalonkan kepala daerah. Padahal politik itu momentum dan intinya diberikan kekuasaan ke rakyat untuk menilai, apalagi itu hak konstitusional tidak boleh melarang orang mencalonkan kepala daerah," katanya lagi.
Apakah selama ini pemerintah dan DPR tidak melihat dengan yang terjadi selama ini, lebih banyak baiknya atau justru sebaliknya dengan berlakunya dinasti politik ini ?
Sebagaimana data yang dikemukakan teman Kompasianer Esther Lima di Kompasiana, 10 Pebruari lalu, daerah-daerah yang memiliki kepala daerah (Bupati/Walikota) secara turun-temurun, dan terlepas dari tata cara pemilihan yang berlaku selama ini, kenyataannya toh seringkali terbentur dengan kasus hukum. Dalam hal ini dengan tindak pidana korupsi, tentu saja.
Salah satu contohnya seperti yang terjadi di Provinsi Banten yang begitu menghebohkan dewasa ini. Betapa dinasti Tb. Khasan laiknya gurita raksasa yang mencengkeram wilayah di ujung barat pulau Jawa tersebut. Terbukti saat ini kedua anaknya, Ratu Atut Chosyiah yang notabene Gubernur aktif, dan TB. Wawan Chaeri Wardana yang tak lain suami dari Walikota Tangerang Selatan, Â sekarang ini meringkuk dalam sel tahanan KPK.
Bahkan seperti yang pernah diprediksi Prof. Ryaas Rasyid, dengan diberlakukannya sistem desentralisasi dalam tata-pemerintahan di Indonesia ini akan banyak muncul Raja-raja kecil di berbagai daerah. Buktinya toh belum lama ini seorang Bupati Ngada di NTT telah bertindak sewenang-wenang, bak raja saja dengan memblokir landasan pacu pesawat terbang. Belum lagi dengan sikap yang terkesan melecehkan kehormatan kaum perempuan yang banyak dikabarkan, dan berita seperti itu mengingatkan kita dengan sikap para raja di jaman baheula (tempo doeloe).
Memang benar, memilih dan dipilih dalam aturan perundang-undangan yang berlaku adalah hak seluruh bangsa. Akan tetapi dalam hal ini politik dinasti, sebagaimana yang telah banyak terjadi, lebih banyak sisi negatifnya daripada positifnya, alangkah baiknya jika ditinjau ulang kembali persetujuan tersebut.
Bukankah untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan dituntut untuk memperhatikan berbagai aspek, seperti halnya aspek yuridis, sosiologis, budaya, etika, dan sebagainya ?
Tapi entahlah kalau pemerintah dan DPR di dalam hal ini memiliki pertimbangan lain, atau juga tujuan tersembunyi di balik menyetujui politik dinasti ini. Hanya saja yang jelas, rakyat sudah muak dengan sikap pemerintah maupun DPR di negeri yang menganut sistem demokrasi ini, karena ternyata sikapnya tidak pro-rakyat sama sekali. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H