Pagi tadi, Senin (21 Juli) saat masuk ke ruang kerja, aku langsung disambut ucapan selamat oleh rekan-rekan kerja yang sudah duduk di tempat kerjanya masing-masing.
“Tidak hanya quick count, real count KPU pun pasangan yang kamu dukung dinyatakan memperoleh suara lebih banyak dari pasangan kami,” kata Pak Asep yang berada dekat pintu masuk sambil menyalami saya. Sementara yang lain serempak bangkit, lalu menghampiri saya.
Wah, gawat!!!
Ada perasaan was-was menyeruak dalam hati. Apalagi dengan Subhan yang begitu fanatiknya mendukung pasangan nomor urut 1, seringkali kami terlibat debat berkepanjangan selama ini tentang ‘jagoan’ masing-masing. Sementara semua orang di kantor kami tahu, selain termasuk relawan timses, Subhan pun dikenal mudah sekali terpancing emosinya. Dan menganggap beberapa masalah bisa diselesaikan dengan otot.
Kali ini pun muncul sangkaan, jangan-jangan Subhan dengan yang lainnya akan melampiaskan emosinya, gara-gara di quick count dan real count, suara pasangan capres/cawapresnya tertinggal oleh pasangan yang saya jagokan.
Tapi pikiran itu hanya muncul sesaat. Aku yakin dalam masalah ini, maksud saya masalah perbedaan pilihan tidak akan disikapi secara kekanak-kanakan. Apalagi disikapi secara radikal ala premanisme. Rekan-rekan sekantor saya sudah mampu bersikap dewasa. Termasuk Subhan yang pemberang plus fanatik. Tokh kami-kami ini hanyalah rakyat biasa yang mendambakan pemimpin negeri ini yang mampu membuat perubahan ke arah yang lebih baik lagi.
Betul memang. Subhan dan yang lain-lainnya tidak melampiaskan kekecewaan karena kekalahan jagoannya dengan mendaratkan tinjunya ke muka saya. Mereka justeru takzim dari Pak Asep. Seperti Subhan, dia malah memeluk saya sambil mengucapkan selamat.
Yup. Saya ‘dikeroyok’ dengan ucapan selamat oleh rekan kerja atas perolehan suara jagoan yang saya dukung yang ternyata lebih banyak dari suara jagoan mereka.
Sedari awal, maksud saya sejak jauh hari sebelum pilpres 22 Juli lalu, saya sudah memantapkan hati untuk memilih Jokowi – terlepas dari parpol pendukungnya yang konon paling korup di negeri ini. Sungguh, karena jejak-rekam Jokowi juga sejak jadi Walikota Solo sampai Gubernur DKI Jakarta yang membikin hati ini ‘kepincut’ dengan wong yang satu ini. Ditambah lagi dengan berbagai fitnah, hujatan, dan cercaan dari pihak ‘sebelah’ yang banyak saya temui di media mainstream dan media sosial, saya makin mantap untuk mencoblos gambar Jokowi di kertas suara 9 Juli lalu.
Alasan itulah yang saya sampaikan kepada rekan kerja di kantor hampir semuanya mendukung pasangan no u rut 1 (Pembaca tahu sendiri kalau di Jawa Barat, khususnya di Tasikmalaya yang menang kan pasangan Prabowo-Hatta). Kecuali saya ‘sorangan’ plus seorang gadis dari bagian keuangan yang sebelumnya secara diam-diam juga ternyata fans berat Jokowi.
Saya mengetahui kalau gadis itu mendukung Jokowi-JK, setelah pada suatu saat saya sendiri menyatakan dengan terus-terang kepada semua orang di kantor bahwa saya adalah salah seorang pendukung Jokowi-JK. Dan saat kami kebetulan sedang berduaan, gadis dari bagian keuangan itu pun berterus terang kalau memiliki pilihan yang sama dengan saya. Dan meskipun hanya berdua saja, juga acapkali mendapat ‘keroyokan’ dari rekan-rekan, Alhamdulillah kami tidak goyah sampai hari ini.
“Terima kasih saya ucapkan kepada semua rekan-rekan atas ucapan selamatnya. Tapi sebaiknya kita tunggu saja pengumuman resmi KPU besok hari (22 Juli). Dan siapa pun pemenang dari Pilpres ini, tidak lain merupakan kemenangan seluruh rakyat Indonesia,” kata saya dengan suara yang rasanya sedikit tersendat. ***
Salam Indonesia Raya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H