Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bu, Apa sih Ayah Biologis itu?

5 Oktober 2014   16:23 Diperbarui: 4 April 2017   16:43 3561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pertanyaan itu muncul untuk pertama kalinya dalam benakku, saat aku duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Begitu Nung, klien saya kali ini membuka kisahnya.

Awalnya karena aku berantem dengan teman-teman lelaki. Garagara mereka tidak diberi contekan jawaban soal ulangan matematika. Mereka marahmarah, terlebih selesai kertas ulangan dikumpulkan. Begitu guru kami keluar dari kelas, kembali ke kantor guru, mereka mengataiku sebagai anak yang pelit, sok pintar, dan... Entah siapa yang mengatakan kalau aku bukan anak ayahku, tapi anaknya Ulu-ulu (Aparat Desa yang tugasnya mengurusi pengairan)

Disebut begitu, aku yang awalnya tak melayani mereka, langsung naik pitam – tentu saja. Sama sekali aku tidak terima. Masa anak seorang perwira TNI AD malah dibilang anak Ulu-ulu. Itu namanya penghinaan.

Biarpun aku ini seorang perempuan, kutantang mereka untuk berkelahi. Tapi empat orang anak laki-laki nakal itu tak satupun yang mau melayani tantanganku. Mungkin mereka ‘keder’ kalau kuadukan pada ayah. Meskipun demikian, satu per satu anak-anak itu pipinya aku tempeleng dengan keras.

Lalu ketika habis pelajaran, di jalan menuju pulang mereka kembali berteriak-teriak mengatakan aku ini anaknya Ulu-ulu. Tapi mereka mengatakannya sambil berlarian menjauhi aku. Dan aku hanya bisa menangis mendengarnya.

Setibanya di rumah, tangisku belum reda. Ibu yang ketika itu sedang di dapur, menghampiriku sambil menanyakan penyebab aku menangis sesunggukan. Aku bukannya menjawab pertanyaan ibu, dan malah melontarkan pertanyaan, “Bu apa iya saya ini anaknya Pak X yang Ulu-ulu itu ?”

“Siapa yang bilang begitu ?” tanya Ibu dengan mata terbelalak.

“Teman-teman tadi di sekolah. Mereka bilang aku ini bukan anaknya ayah, tapi anaknya Pak X yang Ulu-ulu itu.”

“Hush! Jangan didengar. Mungkin mereka hanya bercanda. Dan mengolok-olokmu karena tidak memberi jawaban soal ulangan. Bisa jadi karena mereka sering melihat Pak X sering berkunjung ke rumah kita,” kata Ibu sambil mengelus-elus rambutku.

Memang selama ini Pak X yang Ulu-ulu itu sering bertamu ke rumah kami. Kebetulan di samping rumah kami melintas saluran irigasi yang biasa durus Ulu-ulu itu. Dengan ayah dan Ibu tampaknya cukup akrab. Kepada kami, kakak, aku dan adikku pun selalu bersikap baik.

Hanya ketika aku duduk di bangku SMP, secara tidak sengaja, aku mendengar beberapa temanku sedang menggunjingkanku. Sementara mereka tidak tahu kalau aku begitu jelas mendengar pembicaraannya. Karena aku datang dari arah belakang mereka.Teman-temanku menyebut Pak X yang Ulu-ulu itu adalah ayah biologisku. Karena ketika itu ayahku yang perwira TNI AD sedang bertugas ke luar pulau.

Ayah biologis. Istilah macam apa lagi itu ? Lalu dikaitkan dengan ayah yang lama bertugas di luar pulau. Apa maksud mereka adalah lelaki yang membuahi rahim ibu ? Berarti yang maksud teman-temanku adalah Pak X yang ulu-ulu itu telah berselingkuh dengan ibu, dan aku ini sebagai hasil dari perbuatan mereka ?

Membuat kesimpulan dari gunjingan temantemanku, membuat darah di tubuhku menjadi terkesiap karenanya. Bermacam perasaan pun muncul campuraduk di hati ini. Dan memuncak dalam sedih dan marah.

Untung saja aku masih bisa menahan emosi. Diam-diam aku menjauhi gerombolan temanku. Lalu beranjak pulang, meskipun saat itu belum waktunya habis jam belajar.

Setibanya di rumah, aku langsung menuju kamar tidur. Tangisku meledak di bawah bantal. Gunjingan teman-temanku  terus terngiang di telinga. Ingin segera aku mendapat jawaban dari pertanyaan yang berputar-putar dalam benak. Hanya saja sayang, ketika itu ibu tak ada di rumah.

Tetapi meskipun Ibu sudah kembali dari bepergian, jawaban dari pertanyaan yang kulontarkan tak juga kutemukan. Ibu selalu mengelak dengan mengatakan bahwa gunjingan itu adalah bentuk rasa iri orang lain kepadaku, juga kepada keluargaku.

Di lain waktu pertanyaan itu diam-diam kulontarkan kepada ayah yang perwira TNI AD, yang kebetulan saat itu selalu ada dirumah. Karena sudah memasuki masa pensiun. Mula-mula ayah tampak terkejut mendengar pertanyaanku. Tapi tak lama kemudian beliau tertawa sambil memelukku, dan mengeluselus kepala.

“Kamu ini ngawur. Koq punya pikiran seperti itu ? Kamu anak ayah. Tuh di Akta Lahir pun jelas tertulis nama ayah ‘kan ?!” katanya sambil tertawa.

Betul memang. Aku merasakan kasihsayang ayah begitu dalam. Dan sama sekali tidak ada perbedaan dengan ke-4 saudaraku. Akupun menjadi tenang kembali. Dan pertanyaan itu tak pernah muncul lagi, sampai ayah meninggalkan kami untuk selamanya.

Lalu saat sekarang ini aku akan melangsungkan pernikahan, dan meminta adik lelakiku untuk bertindak sebagai wali nikah, adikku itu mengeluarkan pernyataan yang membuat aliran darahku seakan terhenti sejenak. Bak mendengar petir di siang bolong, dia mengatakan kalau dirinya tak berhak jadi wali nikahku. Karena yang paling berhak adalah Pak X yang ulu-ulu itu. Dan pernyataan adikku itu diamini oleh saudara yang lain.

Begitu. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun