Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Drama Pilihan

Indonesia Saat Ini di Mata Bung Karno dan Pak Harto

8 Oktober 2014   01:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:59 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu ketika saya mendapat kesempatan untuk berdialog dengan Presiden pertama dan Presiden kedua Republik Indonesia ini. Kebetulan dua sosok pemimpin bangsa ini ketika saya temui sedang berbincang  serius  di sebuah taman yang entah dimana, tetapi jelas masih di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Aneh. Bisa-bisanya Bung Karno dengan Pak Harto begitu akrabnya, duduk dalam satu meja. Bukankah waktu itu Bung Karno dikudeta oleh Jenderal bintang lima ini. Malahan sampai ditahan di Wisma Yasa lagi.

Tapi bisa jadi yang namanya politik tidak ada teman dan musuh yang abadi. Saya malah bersyukur keduanya bisa akur kembali.

Dari kejauhan saya melihat Bung Karno – seperti biasanya bicara lantang dan berapi-api dengan lawan bicaranya. Sedangkan Pak Harto menanggapinya dengan tutur kata yang kalem, dan selalu dibarengi smiling General-nya yang terkenal itu.  Dan saat jarak antara saya dengan beliau-beliau ini sudah dekat,  saya menghentikan langkah. Ada sedikit keraguan, dan takut mengganggu keasyikan mereka berdua yang kelihatannya cukup serius.

Bung Karno rupanya yang pertama kali melihat kehadiran saya. Sambil melambaikan tangannya, beliau berteriak memanggil.

“Hei, kamu.  Ayo ke sini !”

“Kebetulan ada anak muda angkatan ‘98. Mungkin bisa melengkapi diskusi ini, “ kata Bung Karno sambil menerima jabat tangan saya. Sedangkan Pak Harto hanya mengangguk sambil tetap tersenyum. “Eh, ngomong-ngomong, kamu waktu itu ikut demonstrasi melengserkan  Bapak yang satu ini ya ? ” Bung Karno melempar tanya seraya telunjuknya menuding ke arah Pak Harto.

Saya hanya mengangguk kecil sambil tersipu menjawab pertanyaan itu. Lalu saya menatap Pak Harto. Tak ada reaksi sama sekali. Dan senyumnya justru semangkin, eh, semakin mengembang.

“Silahkan duduk, nak !” Pak Harto menyuruh saya untuk menempati kursi yang ada di antara beliau dengan Bung Karno.

Diam-diam dalam hati muncul suatu kebanggaan tersendiri. Saya bisa duduk bersama dua orang mantan Presiden. Betapa ini sebuah kehormatan, dan anugrah Tuhan juga.

“Sebagaimana Negara Kesatuan Republik indonesia ini, adalah suatu anugrah Tuhan YME yang tiada terhingga bagi seluruh bangsa di Nusantara. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban semua rakyat untuk menjaga, dan memeliharanya, agar anak-cucu kita, dapat menikmati kehidupan yang damai dan sejahtera di negeri zamrud khatulistiwa yang kaya-raya alamnya, sebagaimana cita-cita kami dahulu saat merebut kemerdekaan negara ini dari tangan kolonialis,” ujar Bung Karno seperti menyambung apa yang muncul dalam hati saya.

Saya mengangguk takzim.

“Ketika saya dilengserkan oleh mereka yang mengaku sebagai para reformis, dengan alasan untuk memperbaiki negeri ini agar lebih demokratis lagi,  dan agar cita-cita Bung ntuk umenjadikan negeri ini sebagai negara yang adil-makmur, gemah ripah repeh rapih loh jinawi dapat segera tercapai. Akan tetapi kenyataannya yang saya saksikan sekarang ini, seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita bangun malah diacak-acak, dirusak, dengan mengatasnamakan Bung dan saya. Mereka saling berebut kekuasaan demi kepentingan diri sendiri dan golongannya. Sementara rakyat dibiarkan sengsara, “ Pak Harto yang sejak tadi hanya mengumbar senyum angkat bicara.

“Sehingga kalau dipikir-pikir sepertinya rakyat kecil justru lebih menikmati kehidupan pada jaman kepemimpinan saya. Iya tokh, Nak ? Enakan di jamanku ‘kan?” sambungnya seraya menatap ke arah saya.

Sungguh. Saya tak mampu menjawab pertanyaan Pak Harto tersebut. Bagaimanapun saya merasa malu. Malu kepada kedua Founding fathers ini, terlebih merasa malu pada diri sendiri. Karena terus terang, meskipun peran saya teramat kecil ketika itu, saya termasuk orang yang mengaku reformis itu. Sedangkan kenyataannya sekarang ini...

Ya, begitulah. Para elit seakan tak lagi memikirkan nasib rakyat yang kian terombang-ambing tak menentu. Mereka justru sibuk sikut sana tendang sini demi mengamankan ambisi diri sendiri dan golongannya masing-masing. ***

#Sekilas dalam Dialog Imajiner bersama dua mantan Presiden

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun