Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ini Dia Salah Satu Sebab Timnas U-19 Kalah Terus di Piala Asia (Menunggu Janji Jokowi)

16 Oktober 2014   03:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:50 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah obrolan saat rehat, Jang Tatang bilang bahwa salah satu faktor penyebab kekalahan Evan Dimas dkk. di Myanmar, karena kalah postur tubuh dari lawan yang dihadapinya.

“Suka maupun tidak, harus diakui oleh kita. Ibarat David melawan Goliath memang. Mengapa tubuh orang Indonesia pada umumnya lebih kecil dari orang Eropa, Timur Tengah, bahkan dari orang Korea dan Jepang. Padahal menurut cerita orang tua kita dulu, orang Jepang dikenal dengan sebutan ‘Orang Kate’.

Hal itu tak lain dari belum terpenuhinya kebutuhan asupan gizi  yang seimbang bagi sebagian besar rakyat di negara kita,”  Jang Tatang berargumentasi, “Ingat waktu di SD dulu, guru kita pernah menjelaskan tentang empat sehat lima sempurna. Dan untuk yang disebut terahir itu adalah susu. Sementara bagi kita sampai detik ini, susu itu sendiri masih dianggap sesuatu yang mewah. Karena mereka, terutama masyarakat di pedesaan,  melihatnya dari produk susu kental yang ada dalam kemasan belaka.

“Sedangkan menurut ahli gizi, susu yang baik bagi pertumbuhan, adalah susu segar hasil perahan dari sapi...”

Diam-diam saya menerawang pada sebuah desa tetangga yang di wilayah kami sudah lama dikenal sebagai sentra susu sapi perah. Dan suatu hari saya mencoba bertandang ke desa yang berbatasan dengan Desa Sindangbarang, yang termasuk Kabupaten Ciamis itu.

Sentra Sapi Perah Tapi Kehidupannya Masih Payah

Desa Guranteng, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat merupakan sentra sapi perah di wilayah tersebut. Saat ini populasi sapi di sana sekitar 3000 ekor – berikut pedet (anak sapi).  Saban harinya menghasilkan susu rata-rata 5000 liter, dan dikelola oleh 700 peternak. Setiap peternak memelihara 2 – 7 ekor sapi.

[caption id="attachment_329316" align="aligncenter" width="300" caption="Beberapa ekor sapi perah milik salah seorang peternak di Desa guranteng (Dok. Pribadi)"][/caption]

Desa Guranteng mempunya luas wilayah 24 km2 (2.002.625 Ha), terhitung desa yang paling luas di Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah penduduk Desa Guranteng sebanyak 6.933 jiwa, terdiri dari 3.429 Laki-laki, dan 3.504 Perempuan dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 1.878 KK. Masih ada sekitar 747 KK yang termasuk kedalam Keluarga Miskin (Gakin) atau sekitar 40% dari jumlah keseluruhan Kepala Keluarga (KK) di Desa Guranteng.

Dilihat dari Topografi dan kontur tanah, desa yang terletak di ujung utara Kabupaten Tasikmalaya ini,  secara umum berupa dataran tinggi berbukit yang berada di ketinggian 600 m s/d 700 m dpl, dengan suhu rata-rata 26 - 27 derajat Celcius.

Menurut salah seorang peternak, Farid (32) hingga saat ini kehidupan para peternak masih bergantung pada IPS (Industri Pengolah Susu). Karena harga jual susu segar hasil produksi para peternak ditentukan oleh pihak tersebut. Saat ini per liternya diterima dengan harga dalam kisaran Rp 2500 – Rp 3000. Sedangkan produksi susu dari satu ekor per harinya rata-rata 8 – 10 liter.

“Hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Boro-boro sempat untuk diminum sendiri dan keluarga. Kami lebih memilih dijual saja, dan hasilnya untuk beli beras dan ikan asin,” akunya saat ditanya suka minum susu saban harinya.

Akan halnya pedet berkelamin jantan, biasanya oleh peternak dianggap sebagai ‘tabungan’. Bila sudah berumur dewasa, barulah oleh mereka dijual. Hasilnya digunakan untuk biaya sekolah anak-anak misalnya, atau untuk merenovasi rumah. Sehingga kebutuhan protein hewani pun masih belum terpenuhi.

“Paling kalau ada orang hajatan, atau pas Hari Raya Qurban, baru bisa ketemu makan daging,” timpal peternak lain, Idi.

Kondisi seperti ini membuat saya hanya mampu menghela nafas panjang. Terlebih usai mendaki jalanan berdebu, dan menanjak panjang. Pantas saja bangsa Indonesia pendek dan kecil tubuhnya. Di sentra peternakan sapi saja masyarakatnya masih demikian keadaannya.

Pemerintahan baru tampaknya harus dengan serius menangani masalah ini. Sebagaimana janji Jokowi untuk membangun sentra-sentra peternakan di wilayah pedesaan. Bagaimanapun kebutuhan gizi yang seimbang merupakan sesuatu hal mendesak. Paling tidak merupakan salah satu faktor penunjang Revolusi Mental yang dicanangkan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun