Mohon tunggu...
Arsualas
Arsualas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis, penyair, dan penggerak literasi dari Mahakam Ulu, Kalimantan Timur.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Standar Ganda dalam Ketidaksetaraan Hubungan, Realistis atau Jahat?

24 Januari 2025   23:21 Diperbarui: 24 Januari 2025   23:29 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Timur Weber/Pexels

Ketika perempuan memutuskan untuk meninggalkan seorang laki-laki karena merasa hubungan itu tidak lagi setara, masyarakat sering kali menyebutnya sebagai keputusan yang "realistis." Namun, jika keadaan dibalik-laki-laki yang memutuskan untuk meninggalkan perempuan karena alasan yang sama-maka ia kerap dicap sebagai "jahat." Fenomena ini bukan hanya sekadar opini, tetapi juga mencerminkan standar ganda yang telah berakar kuat dalam konstruksi sosial kita, yang dipengaruhi oleh norma-norma gender tradisional yang masih dominan.

Dalam konteks hubungan, ketidaksetaraan sering kali terukur melalui berbagai aspek, mulai dari finansial hingga emosional. Ketika perempuan merasa hubungan mereka tidak lagi seimbang-baik karena ketidakharmonisan emosional atau ketidakmampuan pasangan untuk memenuhi kebutuhan finansial-keputusan untuk mengakhiri hubungan tersebut sering dianggap sebagai hal yang wajar. Bahkan, beberapa orang menilai langkah tersebut sebagai sebuah bentuk keberanian untuk melindungi diri sendiri dan mencari hubungan yang lebih sehat.

Namun, jika peran tersebut dibalik dan laki-laki yang merasa hubungan mereka tidak lagi setara, keputusan untuk pergi sering kali dipandang berbeda. Laki-laki yang memilih untuk meninggalkan pasangan mereka dengan alasan yang serupa sering kali dianggap sebagai sosok yang egois atau tidak bertanggung jawab. Masyarakat akan cenderung menilai mereka sebagai sosok yang melarikan diri dari masalah, bukan sebagai individu yang sedang mencari kebahagiaan atau keseimbangan dalam hidup mereka.

Perbedaan persepsi ini berakar pada norma-norma gender yang sudah lama tertanam dalam masyarakat kita. Secara tradisional, laki-laki dianggap sebagai pemimpin dalam hubungan-sebagai pemberi nafkah dan pelindung, baik secara finansial maupun emosional. Ketika mereka memilih untuk meninggalkan hubungan, hal ini dianggap melanggar ekspektasi bahwa mereka harus tetap tegar dan bertahan, apapun yang terjadi. Sebaliknya, perempuan sering kali dipandang sebagai pihak yang lebih rentan secara emosional, sehingga keputusan mereka untuk mengakhiri hubungan dianggap lebih dapat diterima sebagai upaya untuk melindungi diri sendiri.

Lingkungan sosial dan media sosial memainkan peran yang besar dalam memperkuat standar ganda ini. Di lingkungan sosial, kita sering terpapar pada cerita-cerita atau opini yang menyuarakan stereotip gender. Misalnya, di kalangan teman-teman atau keluarga, jika seorang perempuan mengakhiri hubungan karena merasa tidak seimbang, ia akan dipandang sebagai sosok yang kuat yang tahu apa yang ia inginkan dalam hidup. Namun, jika seorang laki-laki melakukan hal yang sama, ia justru mendapat kritik karena dianggap tidak berusaha cukup keras untuk mempertahankan hubungan tersebut.

Media sosial juga memperparah ketidaksetaraan ini. Platform-platform digital sering kali memberikan ruang bagi opini-opini sepihak yang memperkuat stereotip tentang gender dan peran dalam hubungan. Melalui meme, video, atau cerita yang dibagikan, media sosial mengkonstruksi narasi yang menilai perempuan sebagai individu yang lebih peka dan mudah terluka, sementara laki-laki dipandang sebagai sosok yang harus tangguh dan tidak mudah menyerah. Jika seorang laki-laki mengakhiri hubungan karena merasa tidak lagi seimbang, komentar-komentar yang muncul bisa sangat keras, dengan banyak orang yang menyebutnya sebagai "pengecut" atau "kurang bertanggung jawab." Sementara itu, jika perempuan yang mengambil langkah yang sama, ia lebih sering dipahami dengan empati, seolah-olah ia sedang berjuang untuk kebahagiaannya.

Meskipun demikian, kenyataannya adalah bahwa ketidaksetaraan dalam hubungan tidak mengenal gender. Baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk keluar dari hubungan yang tidak lagi seimbang, tanpa mendapatkan label atau kritik yang merugikan. Menganggap perempuan yang meninggalkan pasangan mereka karena alasan ketidaksetaraan sebagai "realistis" sementara laki-laki yang melakukan hal serupa dianggap "jahat" hanyalah cerminan dari bias yang dibangun oleh konstruksi sosial yang tidak adil.

Misalnya, seorang perempuan yang merasa pasangannya tidak mampu memenuhi ekspektasi emosional atau finansialnya dianggap realistis karena ia berusaha untuk mencari pasangan yang lebih sesuai dengan kebutuhannya. Namun, seorang laki-laki yang merasa bahwa pasangannya tidak lagi sejalan dengan tujuan hidup atau visi masa depan mereka sering kali dilabeli sebagai sosok yang tidak mampu berkompromi atau tidak berjuang untuk hubungan tersebut. Padahal, kedua keputusan tersebut sebenarnya berasal dari kebutuhan yang sama, yakni untuk mencari kebahagiaan dan keseimbangan hidup.

Konstruksi sosial mengenai peran gender dalam hubungan seringkali tidak adil bagi kedua belah pihak. Laki-laki diharapkan untuk selalu menjadi penyokong, baik secara finansial maupun emosional. Mereka sering kali dipandang sebagai pihak yang harus "berjuang" dalam hubungan, sementara perempuan diberi lebih banyak ruang untuk mencari kebahagiaan yang lebih pribadi. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan bagi laki-laki, yang terbebani dengan ekspektasi untuk selalu kuat dan tangguh, tetapi juga membatasi perempuan dalam melihat diri mereka sebagai individu yang memiliki tanggung jawab dan kekuatan dalam hubungan.

Norma-norma ini memperparah ketidaksetaraan yang ada dalam hubungan. Ketika perempuan memilih untuk mengakhiri hubungan, ia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga sering kali menghadapi stigma dari masyarakat yang melihatnya sebagai individu yang egois atau tidak mampu berkompromi. Sebaliknya, jika laki-laki yang mengambil keputusan serupa, ia cenderung dipandang sebagai orang yang tidak bertanggung jawab atau pengecut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun