KERJA Â DAN RASA BERDAYA
Masalah utama banyak dari kita saat ini sepertinya "ketersediaan dan keamanan kerja". Yang telah bekerja waswas kalau terjadi pemutusan hubungan kerja atau tidak dapat berlanjut kontraknya.
Sementara itu, jangankan menemukan pekerjaan yang sesuai cita-cita, yang belum mendapat pekerjaan merasa kepayahan mencari sumber penghasilan sekadar memenuhi kebutuhan dasar.
"Fresh graduate" yang kecewa
Demikian surat Miss X di S: "Bu, saya salah satu lulusan terbaik jenjang S-1 dari jurusan yang difavoritkan di sebuah universitas terkemuka di negeri ini. Sekarang hampir memasuki bulan keenam dari hari wisuda, saya belum juga mendapat pekerjaan yang saya impikan; bekerja di bidang pekerjaan yang saya minati dan cukup saya kuasai, di tempat kerja yang punya reputasi baik di masyarakat, dan tentunya mendapat "penghargaan" (termasuk remunerasi) yang baik pula.
Dalam kurun waktu enam bulan ini saya bukannya tidak diterima sama sekali oleh para employer. Tetapi, ada saja faktor yang kurang sesuai dengan harapan saya yang menyebabkan saya hengkang, seperti bidang yang saya kerjakan tidak sesuai dengan hati nurani atau lokasi kerja terlalu jauh, beban kerja banyak, sedangkan gaji yang saya terima hanya mampu menalangi biaya transport dan makan.
Akhirnya satu tempat kerja menyatakan saya diterima. Alangkah terkejutnya saya karena gaji yang mereka tawarkan sangat minim (di bawah UMP) dengan 6 hari kerja seminggu, 8 jam sehari, dan pekerjaan meluas ke bidang yang bukan bagian saya.
Terus terang saya sangat kecewa. Susah payah saya berusaha agar diterima di universitas itu, kemudian berusaha lulus dengan baik dari sana, tetapi setelah bekerja, employer "hanya" menghargai saya di bawah UMP?!
Sebagai catatan, line of business yang mereka geluti bukan bidang karier yang saya impikan. Orangtua meminta saya menerima tawaran itu sambil menunggu tawaran pekerjaan lain yang lebih saya minati.
Namun, saya memikirkan tanggung jawab moral jika nantinya harus meninggalkan pekerjaan selama beberapa waktu untuk tes di tempat lain. Ditambah lagi, saya masih kesal karena "dihargai" begitu rendah oleh mereka.
Walaupun masih muda dan baru lulus, saya ingin memberi sebagian penghasilan saya untuk orangtua, membelikan hadiah untuk orang tersayang, dan menabung untuk masa depan. Sepertinya ketiga hal itu cukup sulit diwujudkan jika penghasilan saya seminim itu. Saya bingung, kecewa, dan tertekan dengan keadaan yang saya alami saat ini."
Sikap hidup
Kerja menjadi sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, menyediakan rutinitas yang membangun kondisi "sehat", rasa aman, dan kestabilan, memberi kebanggaan dan "rasa berharga", serta menjadi sarana pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Bersyukurlah mereka yang memperoleh semua dari pekerjaan karena pada masa ini banyak yang baru sampai pada tahap "memenuhi kebutuhan dasar". Bahkan, ada yang menekuninya sekadar rutinitas hidup karena gaji habis untuk transpor saja.
Kompas dua minggu lalu memberitakan situasi ekonomi yang terus memburuk. Ada gambar pencari kerja antre menyerahkan surat lamaran di bursa karier di salah satu universitas di Surabaya (Kompas, 5/3), sementara dari catatan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, hingga akhir Februari 2009 sejumlah 37.905 orang telah mengalami PHK dan telah dirumahkan (6/3).
16.329 Situasi memang sangat sulit dan tuntutan berkompetisi seperti sudah tidak manusiawi lagi. Kita dapat berkubang pada kekecewaan, rasa marah, keputusasaan, dan melepas kesempatan "kurang membanggakan" di depan kita. Tetapi, waktu berjalan terus. Yang akan bertahan dalam kompetisi, mereka yang berani ambil bagian di dalamnya.
Tampaknya ada beberapa sikap hidup yang akan membantu kita bertahan dan bertumbuh.
(1). Menyadari kesulitan ini bukan terjadi pada "diriku sendiri" seolah dunia "tidak adil kepadaku", melainkan dialami banyak sekali orang lain juga.
(2). Mampu berempati pada posisi banyak orang lain yang kurang beruntung daripada kita: tidak lulus kuliah atau harus jebol sekolah, mengalami PHK, sakit dan tidak punya uang berobat.
(3). Berlanjut dengan kemampuan bersyukur: "terima kasih saya selesai sekolah; terima kasih saya sudah bekerja; alhamdulillah saya diterima bekerja meski gaji awalnya kecil; syukur saya masih dapat menabung...."
(4). Lalu mulai dari menekuni yang ada di depan mata: melihat yang ada saat ini sebagai pengalaman belajar dan batu pijakan memperoleh yang lebih baik.
(5). Tentu kita perlu terus mempertahankan sikap hidup positif dan berpikir kreatif mencari peluang. Bertanya, "peluang apa yang tersedia? Apa yang dapat saya lakukan dan saya isi dengan peluang yang ada?"
(6). Kemampuan berwirausaha bila dapat dikembangkan akan banyak menyumbang bagi diri sendiri dan lingkungan.
Dalam situasi seperti sekarang, daripada memilih tidak berbuat apa-apa, kesediaan bersikap realistis, menjalani yang di depan mata sambil terus berpandangan positif dan berjuang mungkin akan lebih melegakan dan membahagiakan keluarga.
Semoga yang lebih terdidik, lebih strategis posisinya, lebih berpeluang, dan lebih berkuasa dapat berempati pada kesulitan banyak orang dan bersama berstrategi membukakan pintu bagi jalan-jalan yang terasa buntu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H