Mohon tunggu...
Arsa Darmawan
Arsa Darmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya dionisisus Arsa Darmawan mahasiswa dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Saya dionisisus Arsa Darmawan mahasiswa dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Film

Midsommar (2019), Tegang tapi Ada yang Kurang

11 Desember 2020   23:14 Diperbarui: 11 Desember 2020   23:20 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak semua konten yang ada dalam tayangan public bisa dicerna olehg semua kalangan masyarakat. konten-konten ini bisa menmunculkan tafsir-tafsir lain yang nantionya bisa saja mengancam keutuhan negara. Indonesia sendiri memiliki Lembaga negara yang bergerak dalam bidang penyensoran film yaitu Lembaga Sensor Film.

Tidak hanya LSF sebagai Lembaga negara yang bergerak dalam penyensoran konten film, kementrian pendidikan sebagai Lembaga negara yang memiliki konsentrasi khusus terhadap pendidikan anak juga memiliki aturan mengenai bagaimana sebuah film layak untuk diterima masyarakat. Seperti pada Permendikbud 14 tahun 2019 yang mengatur tentang pedoman serta kriteria penyensoran, penggolongan usia penonton dan penarikan film.

Munculnya ambiguitas menjadi alasan kenapa adanya sensor diberbagai film yang tayang di Indonesia. Tidak terkecuali untuk film Midsommar (2019) karya sutradara yang juga menggarap film bergenre horror Hereditary ini menuiai kontroversi karena isi filmnya yang dianggap sadis dan menyeramkan. Film ini mengandung banyak unsur sadis yang berkaitan dengan darah dan kematian, Oleh karena itu LSF sebagai Lembaga sensor film di Indonesia melakuan sensor selama kurang lebih 9 menit. Sensor yang diberikan oleh LSF ini menghindari dampak lebih lanjut dan hal-hal yang mengganngu pandangan masyarakat Indonesia.  

Midsommar (2019) arahan Ari Aster ini menceritakan tentang perjalanan sekumpulan orang ke suatu desa di daerah Swedia untuk mengikuti festival yang diadakan setiap 90 Tahun sekali. Film ini diperankan oleh nama-nama yang tidak asing di dunia perfilman seperti Florence Pugh, Jack Reynor, hingga Will Poulter yang sudah malang melintang difilm-film box office lainnya seperti The Narnia dan Maze Runner. Walaupun punya cerita dan visual-visual yang akan mengganggu pikiran penonton namun film ini adalah film bergenre drama horror dan bahkan film ini berhasil masuk dalam nominasi Best Horro di Hollywood Critics Association

Dengan sensor ini menghindari agar masyarakat tidak melihat tayangan yang mengganggu visual mereka, namun dengan adanya sensor ini berarti ada bagian cerita yang terlewati. Jadi menurut Kalian apakah sensor ini sudah baik diaplikasikan bagi masyarakat Indonesia??

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun