Meski terpisah oleh keluarga, Rano dan Rani tetap berusaha berkomunikasi secara diam-diam. Mereka saling menulis surat, mengungkapkan rindu yang membuncah.
Suatu malam, Rano mengajak Rani bertemu di taman yang penuh kenangan mereka. Di sana, Rano berkata dengan lirih, "Rani, jika kita tidak bisa bersatu di dunia ini, aku berjanji akan mencintaimu sampai akhir hayatku."
Namun, nasib berkata lain. Rani dijodohkan dengan pria lain oleh keluarganya. Hatinya hancur, namun ia tak punya pilihan.
Pada hari pernikahan Rani, Rano berdiri jauh, menyaksikan gadis yang dicintainya bersanding dengan pria lain. Air matanya mengalir deras, seakan meratapi cinta yang tak tersampaikan.
Tak lama setelah pernikahan itu, Rano jatuh sakit. Hatinya yang hancur membuat tubuhnya lemah. Ia hanya bisa terbaring di tempat tidur, merindukan Rani dalam setiap helaan napasnya.
Ketika Rani mendengar kabar tentang kondisi Rano, ia diam-diam mengunjunginya. Namun, ia terlambat. Rano telah pergi untuk selamanya, dengan sebuah surat terakhir di genggaman tangannya.
Surat itu berisi kata-kata terakhir Rano: "Rani, cinta kita mungkin tak bersatu di dunia ini, tapi aku percaya suatu saat kita akan bersama, di tempat di mana tak ada perbedaan yang memisahkan."
Rani menangis tersedu di sisi tubuh Rano yang tak bernyawa. Ia menyadari bahwa cinta sejati tidak memandang batasan apa pun, namun terkadang dunia tidak memberi ruang bagi mereka yang berbeda.
Sejak hari itu, Rani hidup dengan kenangan cinta yang tak terlupakan. Hatinya mungkin hancur, namun cintanya pada Rano akan abadi selamanya, tertanam di setiap helaan napasnya.
Dan pohon flamboyan yang dahulu menjadi saksi cinta mereka, kini berdiri megah, merah merona, seperti cinta yang tak pernah padam, meski terpisah oleh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H