Di Universitas Air Hangat, angin pergantian rektor berembus kencang. Tiga nama mencuat dalam perebutan posisi tertinggi: Ucok, Joko, dan Selamet. Persaingan yang semula berbalut sopan santun perlahan berubah menjadi intrik penuh drama.
Ucok, seorang dosen senior dengan pengalaman mumpuni, mendatangi ruang rapat senat kampus dengan penuh percaya diri. Di sisi lain, Joko, sang akademisi muda yang cerdas dan penuh inovasi, merasa dirinya paling layak membawa perubahan. Selamet, yang dikenal sebagai pengayom mahasiswa, memiliki basis dukungan kuat dari para mahasiswa.
"Kawan-kawan senat, kita butuh rektor yang paham tradisi kampus ini," ujar Ucok lantang.
Joko membalas, "Tradisi penting, Pak Ucok. Tapi kampus ini butuh inovasi. Kita harus menatap masa depan!"
Selamet hanya tersenyum, menunggu momen tepat. Hingga pada suatu malam, kabar mengejutkan tersebar. Ucok dituding melakukan manipulasi data akademik.
Ucok menggelar konferensi pers, "Fitnah! Saya bersih. Ada yang ingin menjatuhkan saya!"
Namun, Joko tersenyum tipis di pojok ruangan. "Kadang kebenaran memang pahit, Pak Ucok."
Di sisi lain, Selamet mulai bergerak diam-diam. Ia menemui perwakilan mahasiswa, "Rektor harus yang dekat dengan mahasiswa. Kalian tahu siapa yang pantas."
Debat publik digelar. Sorotan mata terarah pada ketiganya.
"Saya akan membawa dana riset yang lebih besar," ujar Joko.