Malam itu, di tengah dinginnya lereng gunung Semeru, tiga sahabat Agus, Boy, dan Wisnu duduk mengelilingi api unggun yang nyalanya meredup. Kabut tipis menyelimuti, dan suara angin berbisik lembut, seperti mengingatkan akan bahaya yang mengintai.
"Apa yang akan kita lakukan setelah semua ini selesai?" tanya Wisnu sambil menatap nyala api yang menari pelan.
Agus tersenyum kecil. "Aku ingin kembali ke sini... mungkin dengan keluarga suatu hari nanti."
Boy mengangguk. "Kita akan terus mendaki bersama. Selamanya."
Namun, takdir berkata lain.
Keesokan harinya, mereka melanjutkan pendakian menuju puncak Mahameru. Cuaca yang tadinya cerah mendadak berubah kelabu. Angin kencang berhembus, dan kabut tebal turun, mengaburkan pandangan.
Ketika mereka mencapai batas vegetasi, Agus yang berjalan paling depan tiba-tiba terperosok. Jeritan pendek terdengar sebelum tubuhnya menghilang dalam jurang di sisi kiri jalur.
"AGUS!!" Boy dan Wisnu berteriak serempak. Wisnu dengan panik mencoba merangkak ke tepi, namun Boy menariknya mundur.
"Kita harus turun pelan-pelan! Dia pasti masih hidup!" Boy berteriak dengan napas tersengal.
Mereka berdua menuruni jalur terjal, namun angin semakin kencang. Setelah hampir satu jam mencari, mereka menemukan Agus tergeletak dengan kaki yang tertekuk aneh, wajahnya pucat pasi.