Mohon tunggu...
Arrum
Arrum Mohon Tunggu... -

berkarya itu sebagian dari kemerdekaan...(seharusnya)...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tidak Ingin Membicarakan Kartini

21 April 2010   03:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:40 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beramai-ramai orang membicarakan kartini, kepemimpinannya, keteladannya di masa sekarang, sampai sejarah juga serba-serbi kekartinian. Ya, itu karena hari ini adalah hari kartini alias hari kelahiran perempuan jepara bernama kartini (konon lahirnya pada 21 April 1879) yang diperingati tiap tahun sebagai tanda penghormatan atas jasa-jasanya (katanya). Namun berhubung sudah banyak yang membicarakan kartini pada hari ini maka sebaiknya saya mendongeng cerita lain saja yang tidak ada kaitannya dengan kartini. Tapi sebelumnya saya ucapkan selamat ulang tahun lah buat beliau...doanya apa ya, la wong sudah meninggal masak mau saya doain panjang umur, sehat selalu n' wish u all de best (menirukan ucapan ulang tahun teman-teman yang kemaren ngucapin selamat ultah)...kalo saya doain moga diterima disisi-Nya juga gak match sama moment nya. Ya sudahlah selamat ulang tahun aja...hehe...

Mulai mendongeng nie...

Normalnya, anak-anak belajar dengan cara bermain. Bermain main dengan mainan mereka, dengan teman mereka, dengan lingkungan mereka dan dengan rasa penasaran mereka. Apa yang saya lihat itu ternyata ada yang tidak mirip dengan apa yang saya rasakan dulu.

Dulu saya dan teman teman saya paling banter hanya bermain petak umpet atau bersepeda keliling kampung. Bisa sampe magrib saya dan teman-teman kalo sedang asik bermain petak umpet. Baju kotor, lusuh dan penuh debu tak mengapa. Kalo pada akhirnya kami dipanggil masing-masing orang tua kami dan kemudian orang tua kami ngomel-ngomel karena bermain sampe sore bahkan lupa makan, kami tetap akan melakukannya lagi di hari berikutnya. Lagi dan lagi melakukan itu, dan berulang ulang. Semua terjadi begitu saja, menggalir begitu saja. Entah apa yang menarik dari permainan itu, saya tak peduli dan tak pernah pengen tau mengapa.

Sekarang, kalo saya pulang kampung sudah tak terlihat lagi anak-anak bermain petak umpet. Bahkan tempat favorit saya dulu buat main petak umpet kini sudah menjadi bangunan megah untuk TPA (taman pendidikan al-quran). Bukannya gak ada lagi anak-anak tapi mereka memang hampir tidak mengenal permainan-permainan yang dulu saya mainkan.

Anak-anak jaman sekarang lebih senang menonton tv, bermain game, main komputer, belajar bahasa inggris, belajar ngetik sms, les musik, ikut klub modelling, atau ikut kontes berbau "idola". Dari item-item yang saya sebutkan beberapa diantaranya cukuplah bermanfaat, misalnya belajar bahasa inggris atau les musik. Sedangkan ikut kontes idola (sebenarnya bukan tidak bermanfaat) membuat anak menjadi pemimpi (yang kadang kadang mimpinya tidak realistis...lah namanya juga anak-anak).

Menjadi pemimpi itulah yang tidak saya miliki kala saya masih kanak-kanak. Saya merasa tidak memiliki rasa penasaran untuk menjadi sesuatu layaknya anak-anak bermimpi. Ya, ingat sekali saya saat guru TK saya menanyaan cita-cita kepada setiap murid. Saya  hanya menjawab dengan jawaban standar saat dilempari pertanyaan itu - jadi dokter (cita-cita standar dimata anak anak TK bangetlah). Jawaban itu tidak benar-benar dari hati saya. Saya menjawab itu karena memang hanya mengenal sedikit istilah profesi, diantaranya profesi guru (kebetulan ibu saya seorang guru), dokter (siapa sih yang gak pernah berobat ke dokter, tiap anak pasti taulah apa itu dokter), polisi (familiar karena sering dibicarakan para orang tua, dan karena identik dengan pistol yang kebetulan saya paling tidak suka dengan pistol makanya saya ingat betul), atau pilot (ini sering dibicarakan oleh anak-anak lain, buat saya profesi ini terlalu wah dan saya merasa tak mungkin untuk menjadi pilot, makanya saya tak punya mimpi jadi pilot).

Sikap saya waktu itu seolah menunjukkan keapatisan saya terhadap masa depan (Hah...tidak seekstrim itulah). Belakangan saya sadari itu dikarenakan memang belum saatnya saja memikirkan cita-cita (pembelaan) alias pikirannya belum sampai kesana (atau saya yang terlambat berpikir ya, ah masak sie...hahah). Anak yang polos dan bahkan saking polosnya sampai gak tau apa pentingnya cita-cita. Tak pengen tau apa yang akan terjadi nanti, taunya ya hari itu aja, ya bermain, ya menggambar, ya bernyanyi, ya menghafal doa-doa pokoknya gak ada hari esok yang perlu dipikirkan apalagi dirisaukan.

Begitu timpang kalaulah masa kanak-kanak saya dibandingkan dengan anak-anak jaman sekarang. Sekali lagi mereka punya mimpi, mereka punya cita-cita, mereka kritis, mereka memiliki rasa ingin tau, dan mereka mau melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu (lihat saja mereka yang berkompetisi dalam kontes "idola" menunjukkan betapa mereka berkeinginan memperjuangkan dirinya, tidak sekedar bermimpi....salut dah).

Saya justru memiliki keyakinan bahwa mimpi itu tidak serta merta mereka dapatkan. Ada suatu pemicu yang menyebabkan mereka memiliki mimpi, yang tentunya ini sangatlah kompleks, mulai dari lingkungan (keluarga, teman/orang lain, alam sekitar), kemajuan tenologi (media informasi seperti tv dan kawan kawan) hingga kebijakan dalam menentukan pola didik anak (orang tua/keluarga, adat/kebiasaan, standarisasi suatu institusi playgroup/TK). Dan dari sanalah anak-anak memiliki kecenderungan berpikir aktif sampai pada taraf memikirkan cita-cita dan mimpi-mimpi yang kasaranya membuat anak sedikit lebih cepat dewasa (tentunya bila dibandingkan dengan masa kanak-kanak saya).

Lantas apakah masa kanak-kanak yang seperti saya alami tampak begitu terbelakannya? Kalo dikonversikan dengan masa itu yang tentu jawabnya tidak. Tidak ada keharusan untuk memiliki mimpi atau cita cita. Toh terkadang mimpi atau cita-cita seorang anak ya hanyalah ucapan serta merta tanpa ada pemikiran jangka panjang.

Kalaulah anak-anak jaman sekarang dibiarkan memiliki cita-cita, impian, harapan atau angan-angan sejak dini itu artinya harus ada konsekwensi untuk membimbingnya ke arah yang positif. Jangan sampai kedewasaan dini mereka malah menjadi ajang komersialisasi dan eksploitasi yang sifatnya hanya menguntungkan dari sisi finansial saja. Dan peran penting keluargalah yang bermain untuk mereka, terutama pembimbingan orang tua terhadap anak.

[caption id="attachment_123299" align="alignnone" width="448" caption="dok. pribadi (pumesa)"][/caption]

Saya tidak akan menyesali masa kanak-kanak saya kalo tidak bisa seperti mereka, cukuplah saya melihat anak-anak yang demikian sebagai pengganti apa yang tidak saya miliki kala itu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun