AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Dimana kekebalan tubuh yang terserang merupakan sistem yang terbentuk setelah kelahiran.
Penyakit ini dipandang oleh masyarakat adalah penyakit yang “menjijikkan” sehingga penderita terkadang mendapat perlakuan diskriminatif baik dalam kehidupan sosial sampai akses pelayanan kesehatan. Bahkan ada yang menganggap sebagai kutukan.
Hal ini disebabkan oleh cara pandang tentang penularan yang menganggap penderita adalah “pelaku dosa”. Karena informasi yang beredar adalah virus ini menular dikalangan pelaku seks bebas dan pengguna narkoba suntik.
Namun ternyata ini tidaklah sepenuhnya benar, karena menurut banyak literatur yang dimuat dalam situs spiritia.or.id ternyata virus ini menular melalui cairan tubuh, seperti darah, air susu ibu dan cairan kelamin yang masuk dalam tubuh melalui luka. Sehingga siapapun dapat tertular.
Sebagai misal, istri dari seorang pemuka agama yang sangat taat beribadah dan tidak tinggal dalam lingkungan beresiko, mengalami kecelakaan. Mengalami luka yang mengakibatkan banyak kehilangan darah. Lalu mendapat transfusi darah dari seseorang saudara tanpa skrining PMI. Dan tertular. Lalu apakah masyarakat menganggap istri pemuka agama tersebut sebagai pelaku seks bebas dan pengguna narkoba?
Contoh lain, jika seorang anak lahir lalu terinveksi virus dari ibunya saat pemberian ASI. Apakah bayi itu bisa kita katakan sebagai pelaku seks dan pengguna narkoba?
Banyak kasus yang terungkap dalam forum, bahwa banyak pasangan yang tertular melalui perkawinan. Dimana istri atau suami tidak mengetahui pasangannya adalah penderita HIV. Bahkan ada yang orang yang tidak tahu dirinya adalah penderita hingga menikah dan menularkan pasangannya.
Sehingga orang yang bukan pelaku “dosa” yang beresiko HIV pun bisa tertular.
Tidaklah bijak memvonis seseorang sebagai penderita HIV hanya karena dia sakit-sakitan atau bertubuh sangat kurus. Belum tentu seorang yang gemuk dan sehat tidak tertular, pun belum tentu yang kurus dan sering sakit adalah penderita. Karena Virus ini hanya dapat diketahui melaui pemeriksaan darah. Bukan dilihat melalui bentuk fisik. Sehingga seseorang tidak bisa menduga-duga atau berprasangka dirinya atau orang lain adalah penderita, sampai ada hasil pemeriksaan darah.
Tidak elok pula jika kita mengetahui ada saudara atau tetangga yang terinveksi lalu kita jauhi. Seolah dia adalah sampah yang tak layak, menyalahkannya atas sesuatu yang belum tentu kejadiannya seperti yang kita fikirkan. Secara psikologis, penderita mungkin sudah tertekan dengan apa yang dialaminya. Ditambah lingkungan sosial yang tidak kondusif, tidak akan membantu apa-apa.
Perlu diketahui bahwa virus HIV bukan penghalang bagi penderita untuk berprestasi, berkarya dalam membangun masyarakat dan bangsa. Seiring pengobatan yang kian maju, harapan hidup lebih lama menjadi meningkat. Penderita HIV dapat hidup sehat dengan segala aktifitas positif yang mungkin lebih berguna dari pada seorang yang bukan penderita. Bahkan penderita HIV bisa lebih taat dalam beragama, hidupnya lebih bermanfaat dan sudah tentu lebih ‘care’ pada kesehatan dirinya dan kesehatan orang-orang disekitarnya.
Sebagai bangsa beragama yang menghormati hak asasi manusia, dimana masyarakatnya hidup dengan prinsip tolong-menolong. Masihkah mendiskriminasi penderita penyakit HIV. Sungguh benar lirik sebuah lagu “Letakkanlah tanganmu diatas bahuku, biar terbagi beban itu dan tegar dirimu”. Menyediakan “bahu” kita sebagai tempat meletakkan tangannya adalah perbuatan terpuji yang mungkin akan mendorong semangat hidup penuh harapan.
*** kepada teman odha tulisan ini didedikasikan untuk membuat semangatmu tetap terjaga dalam tegar dan senyuman serta kesuksesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H