Mohon tunggu...
Arroyyan Dwi Andini
Arroyyan Dwi Andini Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga yang menulis sekaligus pelaku UMKM

ibu rumah tangga yang menulis :) dengan nama pena Arroyyan Dwi Andini, buku yang sudah terbit diantaranya : gigi Sehat Ibadah Dahsyat, Muslimah Cantik Cerdas di Dapur (ProU Media) *berbagi kebaikan lewat tulisan moga jadi amal baik yang dicatat Allah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lembayung Runtuh

14 Maret 2015   20:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:39 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LEMBAYUNG RUNTUH

Arroyyan Dwi Andini

Ingin diri ini bertanya, diantara tegaknya pilar kesombongan dan dinding hati yang rapuh. Tidak adakah lagi terselip rasa kebersamaan itu? Mungkin nafas telah tersengal mengikuti hentakan kaki yang terus berlari. Sudah sejauh ini, mengapa harus berhenti ?

Sedang kesuksesan itu belum lagi teraih.

Sungguh, beri tahu aku. Dimana salahnya? Pembagian tugas yang tidak sesuai? Kurang adilkah? Buruknya manajemen? Kurang profesional? Kasih sayang yang tak terasa? Kurang pengertian? Atau apa???

Betapa lelah aku memikirkanmu. Sebenarnya apa yang ada diotakmu? Tidakkah binar mata Ariesta Aulia Kirani bisa meluluhkan kalbu itu? Sedang dinding emosi masih terlalu tinggi. Seolah tak terjangkau walau ku daki dengan hati. Tak terpikirkah akibat jika kita tidak seatap?

Aku mencoba mengurai benang yang akan terlanjur kusut. Mudah-mudahan baru mau akan kusut. Dan semoga sebelum itu terjadi, semua sudah terurai. Tapi jika dirimu tidak mau mencoba, maka benang itu benar-benar akan bertambah semrawut.

Jika karena pembagian tugas yang tak sesuai, bukankah kita telah sepakat bahwa dirimu bekerja di luar rumah dan diriku di dalam rumah?

Jika karena tidak adil, dimana letak ketidak adilannya? Tidak adil masalah uang? Bukankah dahulu kita setujui bahwa uangmu adalah uangku dan uangku tetap uangku? Dan tidak pernah ada masalah tentang itu bukan? Dirimu maupun aku tidak pernah kekurangan uang!

Menejemen buruk karna tidak profesional? Itu alasannya? Hei, rumah tangga itu bukan sebuah perusahaan! Walau begitu aku mencatat semua pemasukan dan pengeluaran. Semua keperluan aku kelola dengan sebaik yang kubisa. Bahkan rencana untuk Ariesta pun sudah terprogram. Apa salahnya?

Jika karena perhatian yang kurang hingga kasih sayang dan cinta itu tidak terasa, itu adalah alasan yang tidak masuk akal. Terlalu dibuat-buat! Aku menyayangimu. Untuk itu aku bersedia kau nikahi. Aku memperhatikanmu dari bangun tidur sampai tidur lagi. Terlebih setelah Ariesta lahir. Apa yang tidak aku lakukan untukmu? Sungguh aku mencintaimu. Dan celakanya, aku juga merasa kau cintai.

Seketika kabut pekat menyelimuti kalbu, saat dirimu meminta untuk berpisah. Menyudahi kebersamaan denganku untuk bersama orang lain. Langit menggelap pekat. Lembayung serasa runtuh. Menimpa sedih diatas luka. Merubuhkan perasaan diatas akal.

Kilau embun yang menyejukkan hati saat dirimu mengecup keningku, saat berpamitan untuk pergi ke kantor. Kini tak sejuk lagi. Lembayung senja nan indah yang selalu terbentuk saat menanti dirimu pulang dari kantor. Kini tak indah lagi. Ceria menyiapkan makan dan pakaianmu berubah menjadi kemurungan tak bertepi.

Mengapa perceraian bisa terbersit dalam pikiranmu? Dari mana ide itu? Bahkan akhir-akhir ini dirimu jarang pulang. Kalau pun bertemu, berbicara saja sudah tak nyaman. Mustahil permasalahan akan terselesaikan apabila kita tidak berdiskusi mencari solusi.

“Bunda, ayah tidak pulang lagi hari ini ya?” Guling berkepala Angry Bird itu dipeluknya erat. Wajahnya menyembul lucu. Mata jernihnya yang tak berdosa menatapku meminta jawaban. Gadis kecilku Rani, Ariesta Aulia Kirani. Nama pemberianmu. Dan dengarlah, Ranimu bertanya tentangmu.

“Mungkin ayah masih sibuk kerja, sayang. Doakan saja supaya ayah cepat pulang” aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi Rani mengangguk, lalu membalikkan tubuhnya. Kuusap lembut punggungnya. Tak terasa, butiran hangat ini menerjuni kelopaknya yang memanas. Betapa teganya dirimu.

“Bunda, kalau Ayah datang bilang Rani mau dibeliin coklat yang dibungkus kado. Tadi di sekolah Ririn bawa coklat itu. Rani dikasih sedikit. Enak Bunda coklatnya” Rani kembali membalikkan tubuhnya. Menatapku.

“Lho, kok Bunda nangis? Kenapa?” Jari kecilnya terulur mencoba mengusap butiran bening ini. Aku semakin terisak. Tenggorokanku semakin memanas.

Usapan Rani, seperti air es yang mendinginkan hati. Memberi kekuatan tersendiri. Ah kalau saja dirimu melihatnya.

“Rani...” aku memeluknya erat. Rasa bersalah mengalir di sepanjang aliran darahku. Anakku, maafkan bundamu yang tak mampu menghadirkan ayahmu saat ini. Maafkan bunda yang tak mampu mempertahankan keutuhan kasih sayang yang seharusnya dirimu rasakan. Maafkan bunda, sayang. Batinku sangat merana.

“Tidak, sayang. Bunda tidak apa-apa. Iya, nanti Bunda sampikan pada Ayah. Kalau ayah tidak mau, Bunda yang akan belikan coklatnya. Sudah malam, tidur ya. Besokkan sekolah?”

“Ayah, tidur dimana Bun?”

“Bunda tidak tahu, nanti kita tanya kalau ayah sudah pulang ya” jawabku asal. Untungnya, Rani mengangguk. Lalu dia memejamkan matanya.

Hujan rintik memaksaku untuk mengenakan jas hujan saat pulang dari mengantar Rani ke sekolah. Dia melambaikan tangannya sambil berlari memasuki kelas nol kecil. Aku tersenyum dan membalas lambaiannya. Lalu menerjang butiran air yang entah mengapa terjun dari langit pagi ini.

Terburu-buru melepas jas hujan, mataku memandangmu yang berdiri di pintu. Gerakanku tiba-tiba terhenti, meletakkan begitu saja jas itu di atas jok motor. Aku tidak tahu harus bagaimana. Harus tersenyumkah? Cemberut? Menghujanimu dengan pertanyaan, atau diam saja?

Akhirnya, aku memutuskan untuk menunduk saat melewatimu di pintu itu. Tanpa sepatah kata dan tanpa pandangan memohon. Aku tidak berani berharap, walau hati ini bergejolak meminta penjelasan. Tidak, aku tidak akan bersimpuh di kakimu, aku punya harga diri.

“Embun, dimana kau sembunyikan berkas-berkas kerjaku?!”

Langkah kakiku berhenti. Aku memandangmu dengan heran. Tapi aku berusaha tenang. Pantang bagiku untuk terlihat lemah.

“Aku tidak menyembunyikannya, jika dirimu lupa meletakkannya, aku akan bantu untuk mencarikan. Mungkin masih ada di meja kerjamu”.

“Aku sudah mendaftarkan gugatan perceraian. Datanglah jika dipanggil pengadilan” Terasa ringan kata-katamu itu keluar dari mulutmu. Sambil mengikuti langkahku menuju kamar. Begitu teganya dirimu.

Terdiam, dan tak bisa menyanggah. Aku membuka laci meja yang berada disudut kamar. Karna memang rumah ini tidak ada ruang khusus untuk kerja.

“Berkas yang mana, Bang?”

“Berkas yang didalam tas hitam”.

Ternyata tas itu tidak ada dilaci. Tidak pula ada di lemari berkas. Aku hafal tas itu, tapi dimana dia meletakkannya? Aku merasa tatapan matamu memperhatikan aku yang sibuk mencari. Dan dirimu hanya diam. Akhirnya aku membuka lemari gantung, tempat menggantungkan baju kerjamu. Dan terlihat tas itu menyandar di dinding lemari. Aku menarik nafas panjang. Menyerahkan tas itu tanpa ekspresi.

“Terimakasih. Jangan lupa hadirlah jika pengadilan memanggil”.

“Kenapa bang? Kenapa kau ceraikan aku? Beri aku satu saja alasan” tanyaku akhirnya. Pias wajahmu seakan menafsirkan ketidakbahagiaan.

“Tanya saja ke pengacaraku yang menangani masalah kita. Ini nomernya” jawabandatar tanpa ekspresi. Tanganmu meletakkan selembar kartu nama di meja. Lalu berlalu begitu saja.

Hatiku hancur berkeping-keping. Luruh tak bertepi. Butiran bening yang menerjuni tebing kelopak rasa, kian terasa hangat mengalir di pipi yang sebenarnya tak rela dialiri air mata. Aku menggenggam kartu nama itu. Rita Hutabarat. Begitu penasarannya, jariku memutar nomer itu.

“Selamat pagi, ibu Rita. Saya Embun, istri dari Wigunantoro. Bisa kita bertemu?”

Dan kami pun bertemu. Disebuah rumah makan dengan nuansa desa. Ibu Rita seolah mencari tempat yang teduh agar emosiku tak memanas. Dia tersenyum sambil menjabat tanganku. Tapi wajahku tetap membesi.

“Aku hanya ingin tahu satu alasan, mengapa? Dimana salahnya? Sampai dia tega menceraikan saya dan berencana menikahi wanita lain!”

“Tenanglah bu Embun, masih terbuka jalan. Sebenarnya....

“Tenang?! Bagaimana saya bisa tenang? Sedangkan...

“Bu Embun, coba intropeksi diri. Apa kira-kira yang luput dari perhatian ibu?”

“Luput dari perhatian?! Ibu menuduh ini salah saya?!” emosiku mulai tak terkendali, mataku melotot, tenggorokanku panas. Mendung dimataku sebentar lagi menurunkan hujan. Aku mulai sesenggukan.

“Baiklah bu Embu, saya akan langsung memberitahu duduk persoalannya. Ibu, ada satu hal sepele yang tidak ibu perhatikan. Hal kecil yang ternyata pak Wigunantoro dapatkan dari perempuan lain. Sehingga dia berpaling. Ibu tidak pernah mau tahu, atau tidak pernah menanyakan dan berdiskusi tentang bagaimana pekerjaan pak Wigunantoro. Dan pak Wigu menemukan pelampiasan atas stress pekerjaan, berdiskusi mencari second opinion serta bergurau mesra mengomentari kebijaksanaan kantor itu pada perempuan lain”

Dan lembayung tidak lagi serasa runtuh, namun telah ambruk menimpa relung hati hingga terhimpit sakit. Sebuah kesalahan kecil yang tak pernah terbayang dan terduga akan fatal akibatnya. Aku tidak mencampuri pekerjaannya, karena takut dirimu akan tersinggung. Sungguh, komunikasi yang tak terkomunikasikan.

Aku istrimu, ibu dari anakmu. Yang mencuci, menyetrika, menyiapkan makan agar dirumu rapi dan dalam kedaan kenyang saat berangkat ke kantor. Aku istrimu, yang membereskan, membersihkan rumahmu agar dirimu nyaman begitu pulang dari kantor. Dan ternyata itu tak cukup bagimu. Kesalahanku, aku segan mencampuri urusan kantormu, malas membicarakannya, dirimu pun tak pernah memulai membahas pekerjaan kantor. Lalu, akankah ini menjadi alasan berpaling?

Jika saja lembayung itu masih utuh, berwarna walau tak lagi indah, bercahaya walau tak benderang. Aku akan berusaha membersamaimu, mengikuti warnamu, mendaki diterjalnya cahayamu. Asal kau menggandeng lenganku, membimbing langkah kaki kecilku untuk bisa mengikuti maumu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun