Mohon tunggu...
Arroyan NaimmatulJannah
Arroyan NaimmatulJannah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Waktu Niat Puasa Ramadhan Menurut Madzhab Maliki dan Syafi'i

2 April 2024   00:48 Diperbarui: 2 April 2024   00:59 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Puasa Ramadhan dianggap sebagai kewajiban suci dan salah satu pilar penting dalam agama Islam. Ini bukan hanya tentang menjalankan ibadah, tetapi juga menjadi salah satu tanda identitas yang besar bagi umat Muslim. Dalam praktiknya, puasa adalah sebuah bentuk ibadah yang agung yang hanya Allah SWT yang mengetahui seberapa besar pahalanya. Selain itu, bagi orang yang menjalankan puasa, mereka merasakan dua kebahagiaan yang unik: kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat beribadah dan bertemu dengan Sang Pencipta.

Puasa melibatkan proses pengendalian internal yang melibatkan bagian-bagian tubuh secara holistik. Ini meliputi usaha untuk mencapai keheningan dan kedalaman batin, sehingga seseorang dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat keberadaan. Selama puasa, organ-organ tubuh seperti usus dan urat syaraf dilibatkan dalam meditasi, perut dilatih untuk bersabar, dan keseluruhan tubuh, baik fisik maupun spiritual, terlibat dalam proses transformatif yang mendalam. Tujuannya adalah untuk mencapai kekosongan yang memungkinkan seseorang untuk berhubungan dengan kebenaran sejati atau hakikat yang lebih tinggi.

Orang yang melaksanakan puasa, sebagaimana mereka yang menunaikan shalat, zakat, dan haji, pada hakikatnya sedang berjuang untuk keselamatan alam semesta dan kesejahteraan seluruh umat manusia. Zakat mendorong distribusi kekayaan yang lebih adil dan sosial, sementara shalat membantu menjaga keseimbangan dan harmoni dalam tatanan kosmologis. Sementara itu, puasa membantu memperbaharui kondisi dan martabat manusia dari segala hal yang palsu dan tidak esensial, menuju kehidupan yang berakar pada nilai-nilai yang sejati dan sesuai dengan rencana Allah. Ibadah haji, di sisi lain, menjadi sebuah perayaan rohani yang merayakan keselamatan dan kemenangan spiritual. Setiap ibadah dalam Islam, termasuk puasa, memiliki ribuan fungsi, nilai, makna, dan hikmah yang tertanam di dalamnya, yang semuanya mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan sesama makhluk-Nya.

Kewajiban puasa telah dikukuhkan dalam Al-Quran, Sunah, dan ijmak.

Dalam Al-Quran, Allah SWT. Berfirman:

  • يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ  

Terjemahnya :"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.(QS. Al-Baqarah {2}: 183)

Ayat ini diturunkan pada bulan Sya'ban tahun ke-2 H dan menyerukan kepada orang-orang mukmin. Pada tahun tersebut, umat Islam secara resmi diwajibkan untuk berpuasa selama bulan Ramadhan. Makna dari ayat ini menunjukkan dua hal: pertama, bahwa puasa diwajibkan hanya bagi orang-orang mukmin karena iman merupakan dasar dari perintah tersebut. Kedua, puasa dianggap sah karena didasarkan pada iman, sehingga pahala dari Allah diperoleh melalui pelaksanaannya. Dengan demikian, puasa bukan hanya sekadar kewajiban formal, tetapi juga merupakan manifestasi dari iman yang mendalam dan ketaatan kepada Allah.

Niat dalam menjalankan suatu ibadah adalah aspek yang sangat penting karena menentukan kualitas dan nilai dari ibadah seseorang. Hal ini juga berlaku dalam pelaksanaan ibadah puasa, baik yang wajib maupun sunnah. Sebagai mana Hadits nabi:

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh 'Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju." (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]

Niat menjadi faktor krusial yang tidak boleh diabaikan, karena nilai ibadah puasa sangat tergantung pada niat kita dalam melaksanakannya. Dengan kata lain, puasa akan menjadi ibadah yang bernilai jika dilakukan dengan niat yang tulus karena Allah SWT. Sebaliknya, meskipun seseorang melakukan amal kebajikan yang diperintahkan oleh Allah SWT, namun jika dilakukan dengan niat yang bukan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya, maka perbuatan tersebut tidak akan bernilai sebagai ibadah.

Di antara rukun puasa adalah berniat. Niat itu harus ada, namun cukuplah di hati, karena itulah yang dipersyaratkan. Adapun niat puasa wajib Ramadhan harus ada di malam hari sebelum masuk waktu fajar (Shubuh).

Hadits no. 656 dari kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar membawakan hadits:

وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ } رَوَاهُ الْخَمْسَةُ ، وَمَالَ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ إلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ ، وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ – وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ { لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنْ اللَّيْلِ }

Sumber https://rumaysho.com/3425-niat-di-malam-hari-bagi-puasa-wajib.html

Dari Hafshoh Ummul Mukminin bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya." Hadits ini dikeluarkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah. An Nasai dan Tirmidzi berpendapat bahwa hadits ini mauquf, hanya sampai pada sahabat (perkataan sahabat). Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbah menshahihkan haditsnya jika marfu' yaitu sampai pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam riwayat Ad Daruquthni disebutkan, "Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat ketika malam hari."

Untuk membuat puasa menjadi ibadah yang memiliki nilai dan dampak bagi kehidupan seseorang, hal pertama yang harus dilakukan adalah meluruskan niatnya dengan tujuan mengharapkan ridha Allah SWT semata. Niat ini harus murni, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor seperti rasa malu terhadap orang alim, keinginan untuk mendapatkan pujian dari sesama, atau motif lain yang tidak berkaitan dengan Allah SWT. Jika puasa dilakukan dengan alasan-alasan semacam itu, maka puasanya akan menjadi sia-sia dan tidak akan mendatangkan pahala ibadah sedikitpun dari Allah SWT. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memperhatikan niat mereka dalam menjalankan ibadah puasa, agar ibadah tersebut menjadi lebih bermakna dan bermanfaat bagi diri mereka dan masyarakat sekitar.

Menurut mazhab Maliki, niat merupakan salah satu rukun dari puasa. Oleh karena itu, menjadi wajib untuk berniat puasa, yang dapat dilakukan pada malam sebelumnya atau sebelum imsak pada pagi hari. Namun, hanya satu niat saja yang cukup, yaitu pada malam pertama bulan Ramadhan. Mazhab Maliki berargumen bahwa puasa Ramadhan adalah ibadah yang dilaksanakan secara terus menerus sepanjang bulan, sehingga dianggap sebagai satu ibadah keseluruhan. Oleh karena itu, hanya diperlukan satu niat pada awal bulan Ramadhan untuk menjalankan puasa selama seluruh bulan tersebut.

Menurut mazhab Syafi'i, niat juga merupakan salah satu dari rukun puasa, sehingga menjadi wajib untuk berniat puasa pada malam sebelumnya atau sebelum waktu azan shubuh. Niat puasa Ramadhan menurut mazhab Syafi'i harus dilakukan dengan hati dan dianjurkan pula untuk melafalkannya dengan lidah. Selain itu, wajib untuk berniat puasa setiap harinya, baik dalam puasa wajib maupun puasa sunat, karena setiap hari dianggap sebagai ibadah yang terpisah dan memerlukan niat tersendiri. Jadi, jika seseorang hanya berniat pada malam pertama bulan Ramadhan untuk menjalankan puasa sepanjang bulan, niat tersebut tidak cukup kecuali hanya untuk hari pertama saja.

Menurut mazhab Syafi'i, kebaikan atau keburukan dalam menjalankan ibadah sangat tergantung pada niatnya. Jika niatnya tulus karena perintah Allah SWT, maka hasilnya akan baik. Namun, jika niatnya bukan karena perintah Allah SWT, maka hasilnya juga akan berbeda dengan orang yang benar-benar niat karena Allah SWT. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memastikan bahwa niat mereka dalam menjalankan ibadah adalah semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT.

Salah satu aspek penting dalam praktik puasa adalah niat. Para cendekiawan agama dari berbagai belahan dunia sepakat bahwa niat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan berbagai ibadah lainnya. Ibadah tersebut dianggap tidak sah tanpa adanya niat yang sungguh-sungguh. Meskipun demikian, terdapat perbedaan dalam pelaksanaan niat berpuasa pada bulan Ramadhan, khususnya antara mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i. Mazhab Maliki menganggap bahwa niat puasa Ramadhan hanya perlu dilakukan sekali pada awal bulan Ramadhan dengan mengintegrasikan niat untuk menjalani puasa selama 30 hari berturut-turut. Sementara itu, mazhab Syafi'i memandang bahwa niat puasa harus dinyatakan setiap harinya sebelum adzan Subuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun