Siang ini cuaca terasa begitu menyengat, apalagi di pos ronda Gang Sapi. Hawa panas terasa mengasapi sekujur tubuh. Mulai dari ujung jempol kaki Idur yang tegak lurus, sampai ujung rambut Engkong yang bisa dihitung dengan sumpit.
Haut sekonyong-konyong muncul dari Blok 2. Berpenampilan apa adanya sebab hanya memakai kaos kutang warna putih dan celana kolor merah.
***
"Kaos kutang dan celana kolor lu persis bendera kebalik." Semprot Engkong.
"Ya nggaklah!"
"Maksud lu, nggak gimane?"
"Nih lihat!"
Haut secepat kilat melakukan headstand. Hanya enam detik dan enam detik mampu membuat Idur melongo.
"Nape lu melongo, Dur?" Tanya Engkong menohok.
"Hebat, Haut. Di usia sebegitunya masih bisa melakukan headstand."
"Halah! Aku juga bisa. Nih lihat, berapa detik aku bisa ngeheadstand. Hitung tuh di hape lu, ye!"
Engkong sigap melakukan headstand, malah lebih lama sedikit dengan yang dilakukan Haut.
"Berapa detik, Dur?"
"Sembilan. Ruarrr biasah, Kong. Enam berbanding sembilan!"
Engkong tak menyahut. Langsung minum susu sapi jantan di baskom.
"Wuahhh, sehat dan segar!. Masak mo kalah sama Lebakwana punya stempel padepokan."
***
Dari kejauhan, tepatnya tikungan Jalan Hewan-Hewan muncul mikrotrans. Berhenti sejenak di Gang Kebo, lanjut ke Gang Sapi. Selepas mikrotrans kembali melesat, Mpok Ira dan Mpok Uya sudah berdiri di bahu jalan.
"Dur, bantuin nyebrang donk!" Pinta Mpok Uya sambil mengedipkan bulu mata yang kata orang Jawa tumengeng ing tawang.
Idur segera meniup kacamatanya yang semakin menebal dan beranjak menyeberang jalan. Sedang Engkong dan Haut dibuat cemberut, wajah mereka berdua terlihat persis kulit jeruk purut yang mulai mengerut. Â Â Â
"Hai, Engkong. Hai, Haut." Sapa Mpok Uya.
"Halah!" Jawab Engkong dan Haut dalam hati. Wajah keduanya terlihat dingin. Sedingin es batu di dalam kulkas.
Melihat tampilan wajah Engkong dan Haut tanpa ekspresi, Mpok Ira mencetol pinggang Mpok Uya. Karuan saja yang empunya pinggang nawon kemit ngelunjak.
"Ih, ngapain nyubit segala. Bikin kaget." Mpok Uya ngedumel ke Mpok Ira.
"Lihat tuh wajah Engkong dan Haut."
"Halah!. Biarin aje. Bentar juga merah membara lagi. Biasalah, kelakuan mereka berdua."
Mendengar argumentasi faktual Mpok Uya, Mpok Ira menutup mulutnya. Nggak sanggup nahan tawa. Bisa nyembur ke empat penjuru pos ronda jika nggak nutup mulut dengan segera.
***
Selepas cengengesan, Mpok Uya dan Mpok Ira ngeloyor pergi. Meninggalkan pos ronda dengan jutaan bintang yang beterbangan dari dua mata Idur. Haut yang melihat mata Engkong mulai membakar sengat matahari segera mengalihkan pembicaraan.
"Kong."
"Ape!"
"Lihat ape kagak yang dibawa Mpok Uya."
"Kagak!. Emangnye bawa apaan?"
"Halah!. Bawa baskom. Dengerin lagi ye, basss...kommm...!"
Engkong langsung ceguk'en. Masih belom percaya pada apa yang dikatakan Haut.
"Haut, ngomong lu kagak ada benernye. Selalu mancing di air kandang sapi gue!"
"Lho, ya khan!. Kagak percaye lagi. Ya udah!"
Engkong ceguk'en lagi. Tenggorokannya seakan kemasukan pentol bakso sebesar bola kasti. Untungnya masih bisa ketelen.
Sekonyong-konyong, menikung mobil Nissan X Trail 5 Seat ke Gang Sapi. Berhenti tepat di samping Blok 1. Muncul dua orang yang kisaran umurnya 80 tahunan.
"Eh, benarkah yang aku lihat?" Gumam Idur penuh tanda tanya dan tak percaya. Hanya sebentar Idur bergumam sebab sudah berdiri tegap seorang bapak dan ibu di depannya.
"Permisi, benarkah ini Gang Sapi?" Tanya seorang bapak yang penampilannya bersahaja.
"Benar. Bapak dan ibu cari siapa?" Idur balik bertanya.
"Pak Pelik Khan, kalau nggak salah eja lho ya..."
"Waduh. Saya tahunya di sini hanya ada Engkong, Haut, Ibud, Inot, Iwur, Ankhris dan lainnya. Juga mpok-mpok Gang Sapi." Sahut Idur sambil memilin kumisnya yang kian menipis.
BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H