Senin (07/08/2023), sepuluh hari menjelang Peringatan Kemerdekaan Indonesia Ke-78, ada  kesempatan menghadiri undangan dari rekan kerja.
Undangan terkait dengan tradisi Hari Raya Karo di masyarakat Tengger. Tepatnya di Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo-Jawa Timur.
Kecamatan Sukapura terdiri dari dua belas desa. Meliputi desa Jetak, Kedasih, Ngadas, Ngadirejo, Ngadisari, Ngepung, Pakel, Sapikerep, Sariwani, Sukapura, Wonokerto, dan Wonotoro.
Dari dua belas desa, Sapikerep juga merupakan desa yang masyarakatnya memegang teguh tradisi keagamaan termasuk Hari Raya Karo untuk menghormati arwah para leluhur warga yang beragama Hindu.
Hari Raya Karo di desa Sapikerep dilakukan di rumah warga. Sebagai penanda dalam merayakan Karo, warga beragama Hindu memasang penjor di depan rumah mereka.
Penjor sebagai penanda antara warga yang rumahnya merayakan Karo dan tidak, mengingat di desa Sapikerep juga terdapat penganut agama selain Hindu.
Saat memasuki rumah warga yang merayakan Karo, para tamu disiapkan hidangan aneka kue dan minuman. Kue terdiri dari kue kering tradisional yang dihidangkan dalam beberapa stoples. Sedangkan beberapa macam kue basah tradisional pada beberapa piring.
Kue kering semisal semprit kelapa yang rasanya gurih dan manis. Ada juga emping mlinjo dan lainnya.
Sedangkan kue basah lebih banyak macamnya. Mulai dari madumongso, dodol, hingga wingko yang dibuat sendiri oleh tuan rumah.
Setelah undangan dan atau tamu cukup beramah tamah, selanjutnya dipersilahkan menikmati hidangan makan dengan aneka lauk-pauk.
Undangan dan atau tamu hendaknya makan walaupun sedikit. Jika menolak, dianggap tidak menghargai tuan rumah.
Masyarakat Tengger di Desa Sapikerep memaknai Hari Raya Karo sebagai kesempatan untuk berdarmabhakti kepada para leluhur.
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam Hari Raya Karo di antaranya rasa syukur kepada Tuhan, tanggung jawab, kepatuhan, menghormati orang lain, gotong royong dan kerukunan.
Makna nilai kerukunan bukan hanya di internal masyarakat penganut agama Hindu, tetapi penganut agama lain juga melakukan tradisi "sonjo". Suatu tradisi saling mengunjungi tetangga dan atau kerabat saat merayakan Hari Raya di lingkungan masyarakat Tengger.
Secara kebetulan, saat penulis diundang rekan kerja untuk merayakan Karo, datang seorang dukun dan pembantunya. Sehingga penulis menyempatkan minta izin memotret dan menuliskan beberapa hal terkait ritual sang dukun.
Saat dukun dan pembantunya datang, disambut oleh tuan rumah dan seluruh keluarga inti. Sang dukun dipersilahkan menuju satu kamar untuk tempat ritual pembacaan mantra dan do'a.
Dalam kamar sudah terhidang sesaji berupa ingkung, tumpeng kecil-kecil, lauk-pauk, bermacam kue, kopi, rokok, kapur sirih, dan pisang raja.
Sesaji dipersembahkan untuk mengenang para leluhur dan rasa syukur atas limpahan nikmat yang ada.
Di ruang kamar, dukun dan pembantu dukun  menyiapkan dupa, merapal mantra untuk tolak bala dan mengucap do'a untuk keselamatan serta keberkahan seluruh keluarga tuan rumah.
Tugas ritual dukun dan pembantunya mendo'akan masyarakat Hindu dari satu rumah ke rumah lainnya dapat berlangsung dua hingga tiga hari. Menciptakan pola hubungan untuk menghormati tokoh agama yang ada, selain juga tokoh masyarakat.
Setelah dukun selesai dengan ritualnya, selanjutnya secara bergilir dimulai dari anggota keluarga tertua melakukan ritual memercikkan air yang telah dido'akan dukun ke sesaji. Berharap keselamatan, keberkahan dan terkabulnya hajat lewat perantara do'a dukun.
Peran dukun di masyarakat Tengger yang beragama Hindu sebagai pemimpin samadi, upacara adat, dan upacara agama. Juga sebagai juru penerang agama di masyarakat penganut agama Hindu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H