Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lahir dari kemelut politik zaman Orde Baru. Sejarah telah mencatat, Orde Baru ingin menegakkan supremasi lewat Golongan Karya (Golkar) sebagai kendaraan politik pengusung penguasa.
Akibatnya, muncullah menara nepotisme. Mengakar kuat dan tumbuh menjulang seibarat "Menara Barad-dur" di film Lord of The Rings.
Pemilik nama lengkap Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri menemukan jalan politik menasional. Lewat Partai Demokrasi Indonesia (PDI), mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Masuknya Megawati sebagai tokoh trah Sukarno ke PDI, melambungkan namanya. Memungkinkan karir politiknya melesat. Berhasil menduduki pucuk pimpinan PDI lewat Kongres di tahun 1993. Menghimpun banyak pengikut dari kalangan miskin maupun menengah di perkotaan dan pedesaan.
Kebangkitan trah Sukarno lewat kepemimpinan Megawati tidak terbantahkan oleh sejarah. Membuat pemerintah Orde Baru kebakaran jenggot (bingung tidak keruan).
Alhasil, pemerintah Orde Baru tidak pernah mengakui kepemimpinan Megawati. Lewat Kongres Luar Biasa (KLB) tahun 1996 di Medan, kubu Soerjadi yang didukung pemerintah Orde Baru mengkudeta kedudukan Megawati sebagai Ketua Umum PDI.
Dualisme kepemimpinan PDI menimbulkan peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) di tahun 1996. Suatu peristiwa pengambilalihan secara paksa Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro.
Peristiwa penyerbuan Kantor DPP PDI yang dijaga pendukung Megawati oleh kubu Soerjadi pada Rabu kelabu menimbulkan 5 korban jiwa (meninggal dunia). Sedangkan 149 orang luka dan 23 orang dinyatakan hilang.
Peristiwa Kudatuli menjadi sebuah misteri, meskipun Megawati sendiri pernah duduk di Istana Negara dan PDI-P dominan mewarnai panggung pemerintahan. Belum ada itikad pengusutan secara tuntas.
Di era Reformasi, Megawati membentuk PDI-P. Menajamkan pengaruhnya dan menempatkan PDI-P sebagai partai peraih suara terbanyak (35%) di Pemilu 1999 dari 48 partai politik peserta Pemilu.
Sebagai Ketua Umum PDI-P hingga sekarang, Megawati tidak banyak melakukan perombakan di struktur partai moncong putih, sebab perombakan yang banyak menurutnya bukanlah hal yang baik.
Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P mempunyai hak prerogatif. Hak yang dihasilkan oleh Kongres dan membedakan dengan partai lainnya. Hak prerogatif inilah yang memberikan Megawati kewenangan penuh untuk menentukan calon presiden dan calon wakil presiden.
Menjelang Pemilihan Presiden tahun 2024 (Pilpres 2024), muncul calon presiden (capres) dari partai dan non partai. Di tubuh PDI-P sendiri menguat 2 capres potensial, yaitu Puan Maharani dan Ganjar Pranowo.
Munculnya 2 nama di internal PDI-P jelas menimbulkan rivalitas dan polemik. Sebab dukungan terpecah ke sosok Puan dan Ganjar. Puan sebagai anak emas begitu kuat pengaruhnya di kalangan elit PDI-P. Tetapi, Ganjar juga kuat basis dukungannya, khususnya dari pemilih milenial dan arus bawah PDI-P.
Rivalitas Puan-Ganjar mengemuka lewat permainan verbal yang cenderung memojokkan sosok Ganjar. Bahkan menjadi perang narasi Banteng vs Celeng, hinga ada Dewan Kopral merespon kemunculan Dewan Kolonel.
Menarik menunggu finalisasi capres dari PDI-P menuju Pilpres 2024. Peran sentral Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P dengan hak prerogatifnya jelas berpihak kepada Puan Maharani. Senyampang Megawati masih ada dan kuat pengaruhnya, saatnya menempatkan kembali trah Sukarno di Istana Negara dengan all out mengusung Puan Maharani sebagai capres 2024 lewat mesin politik PDI-P.
Akankah pendukung Ganjar terus bergerak? Bahkan arus bawah semakin menekan kuat seperti saat pencapresan Jokowi? Â Terpenting, jika pendukung Ganjar begitu kuat menekan dan akhirnya menentang Megawati, adakah kekuatan lain yang berusaha meruntuhkan dominasi PDI-P di perpolitikan tanah air? Menarik untuk terus diikuti.
 Â
Referensi: 1, 2, 3, 4, 5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H