Harga kedelai naik lagi. Produk pertanian ini sangat dibutuhkan oleh produsen tahu dan tempe, jenis makanan yang hadir di meja makan untuk mensubstitusi daging dan ikan. Bahkan menjadi kudapan favorit berbagai lapisan masyarakat di Indonesia.
Naiknya harga kedelai seperti peristiwa musiman. Datang secara tiba-tiba yang diikuti alibi ketergantungan situasi global. Sebab kebutuhan kedelai di Indonesia masih menggantungkan dari produk impor.
Alhasil, produsen tahu dan tempe menjerit. Bahkan berniat menghentikan sementara untuk memproduksi tahu dan tempe. Jalan pintas sebagai bentuk protes sosial yang disebabkan kebuntuan logika berbisnis dan jelas akan menimbulkan efek domino.
Kebuntuan logika bisnis tahu dan tempe akibat naiknya harga kedelai sangat terkait dengan biaya produksi yang meningkat. Sedangkan di sisi lain, menggerus keuntungan yang akan didapat. Bertolak belakang dengan tujuan bisnis secara umum.
Contoh logis produksi tahu, dalam 1 kotak (cetak tahu ukuran standar sebelum diiris) membutuhkan 2 kg kedelai. Jika harga 1 kg kedelai 8.000 rupiah/kg naik menjadi 11.000 rupiah/kg, maka dalam 10 kotak terjadi kenaikan biaya produksi 60.000 rupiah.
Jika harga jual dan volume tetap sedangkan biaya produksi jelas membengkak, maka keuntungan 60.000 rupiah/hari menguap. Jika sebulan, maka keuntungan 1.800.000 rupiah menguap. Kalau 20 kotak/hari, maka keuntungan 3.600.000 rupiah menguap.
Tingginya biaya produksi tentu harus disiasati oleh para produsen tahu dan tempe. Para produsen terpaksa mengakali dengan dua pilihan sama sulit.
Pilihan pertama, menambah irisan atau mengurangi ketebalan volume tahu dan tempe. Siasat ini dapat mengurangi minat pembeli atau konsumen. Apalagi pedagang varian olahan tahu dan tempe seperti produsen makanan gorengan, jelas ikut dirugikan.Â
Pilihan kedua, menaikkan harga. Volume tahu dan tempe tidak mengalami penyusutan atau bertambah tipis, tetapi harga dinaikkan. Pasti konsumen keberatan, apalagi pameo jika harga naik, maka susah dan atau tidak akan turun. Konsumen tahu dan tempe akan beralih ke ikan dan daging yang mungkin lebih murah atau harganya stabil.
Akibatnya, tahu dan tempe kurang laku dan lambat laun mengakibatkan kerugian di pihak produsen. Jika hal ini dibiarkan cukup lama, bisa jadi produsen tahu dan tempe banyak yang akan gulung tikar. Tidak mampu menutupi tingginya biaya produksi tahu dan tempe.