Puluhan gergaji meraung-raung memekakkan telinga. Meruntuhkan pepohonan, membanting ranting-ranting, dan merontokkan dedaunan. Semak-semak liar yang masih bertahan dan berserakan, dibakar tanpa sisa. Gemeratap bara dan api yang kian menyala, membungkam rintihan-rintihan dan tangisan-tangisan hewan-hewan hidup terpanggang.
Bonita menatap jalang, dadanya dibusungkan, bersiap menantang angkara. Amarahnya meletup melebihi nyala api raya, mencipta angkara murka. Dalam sekejap, terkaman Bonita membuat tubuh sang Bos terjengkang. Taring tajam Bonita dalam menghunjam, dan menyeret tubuh si Bos ke semak belukar terdalam.
***
Suasana riuh seketika. Raungan mesin-mesin dipaksa mati. Teriakan-teriakan manusia-manusia haus cuan saling bersahutan. Menyeponggang membentur tebing-tebing dan bukit-bukit saksi bisu anak zaman. Dunia manusia tak lagi bersahabat dengan alam semesta.
Di rimbun semak belukar, cakar-cakar tajam Bonita merobek tubuh si Bos. "Darah yang mengalir dari tubuhmu, tidak sebanding dengan air bah dan hilangnya alam penghidupan disebab ulahmu!". Taring Bonita, begitu ganas merobek dan mengunyah. "Kepalamu yang angkara, tidak sebanding dengan hilangnya makhluk-makhluk hutan bernyawa!".
Bonita, Datuk betina yang kehilangan tiga anak dan pasangannya tak henti mengoyak dan melumat. Hingga terdengar,"DOR! DOR! DOR!".
Senapan pemburu dari dua pegawai kebun kelapa sawit menyalak liar, memecah hening senja yang mulai gelap menyelimuti mayapada. Sigap Bonita menghindar, berlari ke arah bebatuan seberang sungai. Puluhan orang mengejar dan mengejar.
Tepat di atas bebatuan yang menggunduk menjulang, Bonita berdiri menantang. Sorot matanya tajam menyala,"Mulai saat ini. Kami, sisa-sisa para Datuk, memusuhi manusia". Kepala Bonita mendongak.
"DOR! DOR! DOR!". Kembali tiga peluru menyalak, melesat dan menghambur ke arah Bonita, tetapi tak mampu menembus kulit sang Datuk Betina. Bonita mengaum,"Manusia telah lupa akan keluhuran manusia pendahulunya. Juga lupa pada kami, para Datuk yang tersisa. Penjaga keseimbangan alam semesta".
Catatan :
- Sepanjang 2019 berbagai konflik manusia dengan harimau sumatera terjadi di Sumatera. Mulai dari Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Bengkulu, Lampung, dan terakhir di Sumsel. Korban jiwa bukan hanya manusia, juga harimau.
- Konflik ini melahirkan keinginan dari masyarakat atau pihak tertentu agar harimau dijauhkan dari habitatnya atau lokasi konflik. Bukan hanya organisasi nonpemerintah, BKSDA, juga pekerja budaya di Sumatera menolak keinginan ini.
- Jika harimau dikeluarkan dari habitatnya, masyarakat Sumatera akan mengalami kerugian. Kerugian pertama yakni terancam budaya atau tradisi yang menggambarkan hubungan harmonis manusia dengan harimau.
- Jika harimau sumatera keluar dari habitatnya, bencana ekologi akan mendatangi Sumatera. Sebab hutan rimba akan lebih mudah diakses manusia untuk kegiatan ekonomi dan infrastruktur.
Referensi dan Sumber Inspirasi Panthera Tigris Sumatrae:  1, 2, 3