Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hanya dengan Pengalaman, Cukupkah Menjadi Ibu Pengetahuan bagi Anak?

26 Juli 2021   15:13 Diperbarui: 29 Juli 2021   03:00 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pola belajar hidup dan kehidupan anak berangkat dari pengalaman orang tua dan anggota keluarga. Cukupkah hanya dengan pengalaman? Cukup, kalau hidupnya sebatas dalam keluarga dan lingkungannya.

---

Ibu, menjadi sosok yang melahirkan manusia. Meskipun dalam prosesnya juga membutuhkan kehadiran sosok ayah.

Sebutan ibu, tidak berhenti hanya mampu melahirkan. Kehadiran ibu mampu memberi pengetahuan tentang apa, di mana, dan bagaimana kehidupan kepada anak yang dilahirkan.

Adagium menyatakan "Ibu adalah pendidik utama dan pertama". Bisa dibayangkan perjuangan ibu bagi anaknya. Dari pengalaman hidup yang sudah ibu jalani, dibimbingnya anak untuk "belajar hidup". Dari tidak tahu apa dan bagaimana hidup, menjadi tahu.

Pengetahuan menjadi pengalaman ataukah pengalaman menjadi pengetahuan? Perlu dibelajarkan kepada anak.

Anak lahir dan tumbuh pada awalnya di lingkungan keluarga. Anak di lingkungan keluarganya belajar telungkup, merangkak, berjalan, dan bahkan berlari. Apakah belajar sendiri? Tentu bisa ya dan atau tidak.

Pernah melihat bayi tiba-tiba tertelungkup sambil mendongakkan kepalanya? Kalau Anda pernah melihat, berarti Anda beruntung. Mampu melihat bagaimana anak sewaktu masih bayi secara alamiah (tanpa bantuan orang lain) mampu telungkup.

Lantas, apakah anak akan mampu merangkak, berdiri tegak, berjalan, dan berlari seperti umumnya manusia tanpa bantuan orang lain? Akankah anak secara alami dapat belajar dan meniru tanpa bantuan ibu dan atau anggota keluarga lainnya? Bisa ya, bisa tidak.

Andaipun jawabannya "Ya...anak bisa dengan sendirinya", akankah cara berdiri, berjalan, dan berlari sama normal dengan manusia pada umumnya? Jangan-jangan anak belajar merangkak meniru cicak. Berjalan meniru ayam. Berlari meniru kucing.

Belum lagi cara anak makan dan minum, membersihkan diri, buang hajat, mampukah tanpa bantuan orang lain? Susah membayangkan tanpa diimbangi pengetahuan dan pengalaman dari orang lain.

Di sinilah dibutuhkan peran dan bantuan orang lain, khususnya ibu dan anggota keluarga lainnya. Dengan pengetahuan, pengalaman, bimbingan ibu dan atau anggota keluarga, anak pertama-tama belajar tentang kehidupan di lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar.

Anak manusia janganlah dilepas seperti binatang, karena anak manusia bukanlah anak binatang yang hidup liar tanpa tuntunan dalam bersikap dan bertingkah laku.

Belajar, Cukupkah Hanya dengan Pengalaman Sebagai Pengetahuan yang Hidup?

Tanpa bersekolah, anak sebetulnya sudah belajar. Benarkah? Jawabannya, bisa "Ya" dan bisa "Tidak".

Tanpa sekolah sebetulnya anak sudah cukup memaknai hidup dan kehidupannya. Anak belajar berdiri, berjalan, dan berlari dibimbing orang tua berdasarkan pengalaman dan pengetahuan orang tua dan atau anggota keluarga.

Begitupun dengan cara makan dan minum. Anak menggunakan tangan dengan sikap tertentu untuk makan dan minum. Beda dengan cara makan dan minum cicak, kucing, kambing, atau bahkan kera yang pernah anak lihat.

Pola belajar hidup dan kehidupan anak berangkat dari pengalaman orang tua dan anggota keluarga. Cukupkah hanya dengan pengalaman? Cukup, kalau hidupnya sebatas dalam keluarga dan lingkungannya.

Tapi ingat, kehidupan berkembang dan kadang dinamikanya luar biasa berkembang dengan pesat di luar lingkup anak dibesarkan. Mampu menjadi pembeda bagaimana harus memaknai dan menyesuaikan cara hidup dan kehidupan seorang anak manusia.

Di titik inilah hadir lembaga sekolah. Anak belajar hidup dan kehidupan tidak cukup dari pengalaman di lingkup sempit. Banyak ilmu tentang hidup dan kehidupan yang masih perlu dipelajari dan belum tentu diberikan oleh seorang ibu dan atau anggota keluarga yang lain.

Di sekolah, anak belajar lebih banyak tahu. Belajar hakikatnya dari tidak tahu menjadi tahu. Dari sedikit tahu menjadi tahu banyak dan bahkan banyak tahu.

Namun sayang, sekolah kadang lebih menitikberatkan pada pengetahuan. Kurikulum walaupun sudah dimodifikasi dan mengalami revisi ke sekian kali "seakan-akan" belum mewujudkan belajar dalam arti "Pengalaman Sebagai Pengetahuan yang Hidup".

Anak terkungkung dalam sistematika belajar yang lebih menitikberatkan pengetahuan. Alhasil, guru menciptakan suasana belajar sebatas ruang kelas dengan mata pelajaran terpaket dan tumpukan buku sebagai teori. Lebih tragis, keberhasilan output belajar anak masih "dikemas" dengan capaian hasil belajar lewat ujian yang sentralistik.

Andaipun capaian hasil belajar diserahkan ke satuan pendidikan, masih ada aturan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Aturan ini jelas "memeras" anak dan "membelenggu" guru untuk mengukur capaian hasil belajar secara faktual.           

Ilustrasi belajar dengan memanfaatkan laboratorium. Sumber: Felixioncool on pixabay.com
Ilustrasi belajar dengan memanfaatkan laboratorium. Sumber: Felixioncool on pixabay.com

Bagaimana Seharusnya Hakikat Belajar di Sekolah?

"Membaca adalah Jendela Dunia" dan "Pengalaman Sebagai Pengetahuan yang Hidup" harusnya menjadi satu kesatuan yang utuh (holistik). Teori yang dituangkan dalam konsep "pengetahuan" di buku sepatutnya mampu dipraktikkan sebagai pembelajaran berbasis aktivitas siswa dalam lingkup lingkungannya.

Lingkungan belajar anak bukan hanya ruang kelas yang "mati". Tetapi mampu memanfaatkan kelas dan lingkungan sekolah menjadi pengetahuan yang hidup.

Di tingkat kelas rendah, anak belajar membaca dan berhitung memanfaatkan lingkungan sekolah dengan pola bermain dan menyusun kartu huruf dan angka (misalnya). 

Tentu dibutuhkan kreativitas guru sebagai desainer pembelajaran agar dengan pola "Pembelajaran Lewat Permainan", anak memiliki pengalaman dan pengetahuan untuk lebih senang belajar membaca dan berhitung.

Bisa juga dalam berhitung memanfaatkan kantin sekolah. Lepaskan anak untuk membeli barang di kantin sesuai keinginan dan pilihan mereka.

Lalu mintalah tiap anak menghitung berapa jumlah barang yang dibeli, berapa uang yang harus dibayar, berapa jumlah uang kembalian, berapa sisa uang saku yang ada secara bergilir, sedangkan teman yang lain mengamati dan mendiskusikan hal-hal yang perlu lebih lanjut diketahui.

Dalam pelajaran biologi, anak diajak ke luar kelas. Sekolah wajib menyediakan lahan untuk berkebun. Ajari anak bagaimana cara menanam dan merawat tanaman yang baik. 

Sesuaikan buku pelajaran dengan langkah-langkah pembelajaran berbasis aktivitas siswa. Gali pengalaman dan pengetahuan dari sudut pandang teori dan praktik secara ilmiah.

Anak mengenal ciri-ciri makhluk hidup dan bagaimana memperlakukannya bukan sekedar lewat buku, tetapi langsung memanfaatkan lingkungan untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang nyata. Tentu dengan pendampingan guru dan tutor yang kompeten, pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan.

Bagaimana di tingkat menengah dan atas? Model saintific learning "mungkin" lebih cocok. Merdekakan pikiran dan potensi anak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar.

Pengetahuan atau teori di buku pelajaran hendaknya mampu dimodifikasi guru untuk menggali pengalaman anak menemukan jawaban apa, mengapa, dan bagaimana proses peristiwa dapat terjadi.

Ilmu pasti, sosial, sastra, dan bahkan teknologi tentu ada di lingkungan anak. Meskipun tidak harus mutlak lengkap dan utuh.

Pasar dapat dimanfaatkan guru untuk anak mampu menggali pengalaman yang dimiliki mengkaji lebih jauh tentang ilmu ekonomi, pengaruh sosiologis geografis, dan budaya pendukungnya.

Data-data di kelembagaan dapat menjadi rujukan apakah sudah sesuai fakta dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Tentu butuh data pendamping dan pembanding yang lebih valid dengan memanfaatkan iptek yang ada.

Demikian juga fasilitas laboratorium dan ruang multimedia. Memungkinkan anak secara terbimbing terlatih meneliti secara ilmiah dan bertanggung jawab. Melihat dan mengamati ruang angkasa, membedah organ tubuh dan lainnya lewat tayangan augmented reality yang "seakan" nyata hadir di depan mereka. 

Menumbuhkan dan pembiasaan sikap, jangan hanya mengandalkan ceramah dan atau cerita. Ajak anak ke panti asuhan, panti jompo, lembaga pemasyarakatan, kantor pelayanan masyarakat untuk belajar makna disiplin, sanksi, simpati, dan empati berdasarkan pengalaman nyata.

Banyak yang harus disediakan sekolah dan guru untuk memfasilitasi belajar anak. Peran guru dan pimpinan sebagai pengambil kebijakan jelas menjadi kunci penting agar pendidikan lebih bermakna untuk memerdekakan, memanusiakan, dan berpihak pada anak. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun