Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Rakyat Bentuk Fabel dan Nilai Moral di Relief Candi Mendut

11 Januari 2021   00:01 Diperbarui: 11 Januari 2021   00:23 1721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief Candi Bentuk Fabel. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Indonesia dikenal sebagai negara multi etnik dan multi budaya. Cerita rakyat merupakan satu budaya yang hampir dimiliki setiap daerah.

Cerita rakyat berkembang di masyarakat yang penyebarannya dilakukan secara turun temurun atau dari generasi ke generasi. Bahkan di beberapa candi, cerita rakyat terpahat indah pada relief candi.

Cerita rakyat mengandung banyak nilai luhur yang dapat dipetik diantaranya adalah nilai moral. Candi Mendut memiliki keunikan pada sisi relief. Candi yang terletak di Kabupaten Magelang-Jawa Tengah ini memiliki relief candi berupa cerita rakyat dalam bentuk fabel.

Berikut cerita rakyat bentuk fabel dan nilai moral yang terkandung pada relief Candi Mendut:

Pertama, Brahmana dan Kepiting. Dwijeswara adalah seorang brahmana yang sangat bijak. Sang Brahmana sedang bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting bernama Astapada. Sang Kepiting mungkin tersesat dan sampai di puncak gunung dalam keadaan kelelahan dan kehausan.

Sang Brahmana akhirnya membawa kepiting dalam buntalan. Sesampainya di sebuah sungai, Sang Kepiting dilepaskan. Karena capek Sang Brahmana ketiduran.

Seekor ular dan seekor burung gagak sedang berencana melakukan kejahatan. Kepada burung gagak, ular minta diberitahu apabila ada orang ketiduran di atas batu. Dia akan datang untuk memangsa orang itu.

Tak berapa lama burung gagak melihat seorang brahmana sedang tidur di sana. Burung gagak menemui ular dan berkata ada manusia sedang tidur di sana. Silakan memangsanya hanya burung gagak minta disisakan matanya untuk menjadi santapan siangnya. Begitulah perjanjian mereka.

Mendengar pembicaraan ular dan burung gagak, Sang Kepiting mendatangi keduanya. Kepada ular dan burung gagak, Kepiting meminta memanjangkan leher keduanya agar lebih dapat menikmati santapan.

Ular dan burung gagak setuju. Kepiting meminta memanjangkan leher ular dan burung gagak. Saat keduanya menyerahkan leher untuk dipanjangkan, maka kedua leher tersebut disupit oleh Sang Kepiting dan keduanya mati seketika.

Cerita Brahmana dan kepiting ini sarat dengan pesan moral. Pesan yang menggambarkan bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Begitupun juga, tindak kejahatan akan dibalas pula dengan kejahatan.

Kedua, Angsa dan Kura-kura. Di sebuah kolam kecil seekor kura-kura berteman dengan dua ekor angsa. Seiring pergantian musim, kolam tersebut kadang menyusut, kadang melimpah airnya.

Saat air melimpah mereka bersuka ria. Saat air menyusut mereka menderita. Kedua angsa baru saja mendengar berita gembira dari  seekor burung bijaksana yang berkata bahwa di puncak gunung ada sebuah "Telaga Kebahagiaan" dengan mata air yang tak ada habisnya.

Kedua angsa bertekad bulat akan terbang menuju "Telaga Kebahagiaan" yang dapat membahagiakan mereka selamanya. Kura-kura tertarik dengan tekad angsa dan berniat ingin mengikutinya.

Mereka berupaya mencari jalan keluarnya, dan sebuah ide cerdas diajukan Sang Kura-Kura. Kedua angsa menyetujuinya. Walau mereka berpesan agar kura-kura selalu waspada, karena lengah sedikit saja, bahaya besar menimpa. Kedua angsa mencengkeram sepotong kayu pada ujung-ujungnya, dan Sang Kura-Kura menggigit di tengahnya.

Sebelum terbang mereka berpesan agar kura-kura fokus menggigit kayunya dan tidak berbicara sepanjang perjalanannya. Sesampai di atas ladang, sepasang serigala berkata, yang menggigit kayu itu bukan kura-kura tetapi kotoran kerbau, oleh-oleh buat anak angsa.

Sang Kura-Kura lengah ingin menjelaskannya. Gigitannya lepas dan jatuh. Badannya terbelah dua.

Cerita Angsa dan kura-kura memiliki pesan moral bahwa hidup harus mempunyai prinsip yang kuat. Jangan lengah dan mudah terpancing pembicaraan atau sesuatu yang dapat menimbulkan bencana pada diri sendiri.

Ketiga, Kera dan Buaya. Di atas pohon mangga di tepi sungai besar hiduplah seekor kera yang bersahabat dengan buaya. Tiap hari kera selalu memberikan mangga kepada buaya.

Istri buaya tidak senang melihat suaminya berubah menjadi lembut karena makan banyak mangga dan sering lupa membawakan ayam dan angsa sebagai santapan untuknya.

Buaya betina mempunyai niat jahat untuk membunuh kera. Buaya betina bilang kepada suaminya bahwa dia sedang sakit parah dan obatnya adalah jantung seekor kera. Bahkan buaya betina bersandiwara bahwa dia segera meninggal bila tidak makan jantung kera.

Buaya jantan berada dalam dilema. Tetapi istri tercinta segera mati apabila tidak makan jantung kera. Akhirnya buaya jantan mengundang kera untuk datang ke seberang sungai tempat tinggalnya. Dikatakan di seberang sungai terdapat pohon apel dan juga pohon nangka.

Kera diminta naik ke atas punggungnya. Sampai di tengah sungai, buaya jantan mulai menyelam, dan kera bertanya mengapa dia tega bertindak sedemikian kejinya. Buaya jantan berkata bahwa istrinya sedang sakit parah dan harus makan jantung kera sebagai obatnya. Sehingga dia harus melakukan hal demikian pada kera.

Kemudian kera berkata, bahwa dia selalu memberikan apa saja yang diminta buaya jantan. Kera memberi tahu sebuah rahasia, bahwa dia selalu meloncat dari ujung dahan ke dahan lainnya, sehingga membawa jantung di badan sangatlah riskan.

Selanjutnya kera menyampaikan bahwa dia menyembunyikan jantungnya di sebuah dahan yang tertutup oleh kerimbunan dedaunan. Buaya jantan diminta segera kembali menepikan ke dekat pohon mangga agar dia dapat segera mengambil jantungnya untuk diserahkan.

Buaya jantan percaya dan membawa kera kembali ke tepi sungai yang segera melompat ke pohon mangga dan naik ke salah satu dahan.

Kera menyampaikan bahwa bahwa buaya betina tidak punya perasaan. Sedangkan buaya jantan tidak mengerti arti persahabatan.

Buaya Jantan hanya dapat terdiam dan merasa dipermainkan. Tetapi dia tak dapat memanjat pohon mengejar kera yang sudah terbebas dari ancaman kematian.

Cerita kera dan buaya memiliki pesan moral bahwa dalam menghadapi persoalan yang berat harus berpikir secara jernih. Tujuannya dapat menemukan cara untuk ke luar dari masalah atau persoalan seberat apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun