Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Milenial, Pandemi, dan Momentum Kendali Sejarah

22 September 2020   10:16 Diperbarui: 23 September 2020   14:08 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas pemakaman membawa peti jenazah pasien suspect virus corona atau Covid-19 di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, Kamis (9/9/2020). Petugas administrasi TPU Pondok Ranggon mengatakan saat ini jumlah makam yang tersedia untuk jenazah dengan protokol COVID-19 tersisa 1.069 lubang makam, dan diperkirakan akan habis pada bulan Oktober apabila kasus kematian akibat COVID-19 terus meningkat. (Foto: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

"Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan meski selangkah pun" - Sukarno -

Perkembangan Riil Covid-19

Kita bicara data riil. Singkirkan sementara debat Covid-19 antara ada dan tiada. Hanya akan menambah terkurasnya energi dan pikiran yang tiada guna.

Berdasarkan data Satgas Covid-19, kasus terkonfirmasi 1 September 2020 menyentuh angka 2.775. Tanggal 10 September 2020, bertambah menjadi 3.861. Menembus angka 4.168 pada tanggal 19 September 2020. Sempat sedikit menurun ke angka 3.989 pada tanggal 20 September 2020.

Perkembangan kasus terkonfirmasi yang fluktuatif. Cenderung meningkat dan mungkin akan terus meningkat. Dinukil dari megapolitan.kompas.com, bahkan di TPU Pondok Rangon, DKI, tanggal 10 September 2020 telah menguburkan 41 jenazah terpapar Covid-19. Rekor baru dalam satu hari.

Mengapa penyebaran virus korona cenderung meningkat? Mungkinkah karena ulah virus atau justru sikap dan pemikiran manusia sendiri sebagai penyebabnya? Menarik untuk kita ulas ulang.

3 Golongan Menyikapi Pandemi Virus Korona

Desember 2020, 3 bulan ke depan, virus korona akan genap 1 tahun terpampang di lembaran sejarah. Ibarat SpiderWebs, klaster korona merebak begitu masif. Membentuk jaring-jaring baru  dan terus menyebar ke seluruh negara yang ada.

Korban-korban berjatuhan. Mesin-mesin farmasi bergerak cepat mengantisipasi. Tetapi, masih kalah cepat dalam pertempuran frontal. Pertempuran yang belum pernah dibayangkan sebelumnya oleh makhluk bernama manusia. Berhadapan dengan musuh tak kasat mata.

Di Indonesia, merebaknya virus korona sempat melumpuhkan berbagai sendi kehidupan. Sosial ekonomi  masyarakat terdampak langsung. Himbauan “Stay at Home”, “Work from Home”, dan “Study from Home” betul-betul membuat ruang publik sempat senyap. Masih ingat khan?....

Pertokoan, tempat wisata, seluruh jenis transportasi sempat di “Lockdown”. Apron, garasi, pelabuhan dan lainnya menjadi tempat bagi alat transportasi untuk cukup nyenyak ditidurkan. Tetapi, menimbulkan kegelisahan dan keresahan bagi para pengusaha dan pekerja untuk mengais rejeki. Menyambung hidup yang biayanya tidak bisa ditunda dan dihentikan barang sejenakpun.

Sumber: Screenshot, covid19.go.id
Sumber: Screenshot, covid19.go.id
Menyikapi fenomena pandemi virus korona, masyarakat ada yang percaya, ada yang tidak percaya, bahkan ada yang cuek bersikap. Setidaknya ada 3 golongan yang bisa ditemukan, bagaimana masyarakat menyikapi merebaknya virus yang belum ada vaksin dan obatnya ini.

Pertama, Golongan yang Percaya Covid-19 Ada. Golongan ini selalu mengikuti perkembangan kasus Covid-19. Baik melalui media elektronik maupun media lainnya.

Kelompok ini mudah dideteksi. Mereka sangat patuh dengan himbauan pemerintah. Setidaknya, himbauan 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), mereka patuhi dan lakukan. Mereka sangat disiplin menjaga kesehatan diri dan keluarga. Bahkan tidak segan menegur pihak lain yang tidak melakukan 3M.

Kedua, Tidak Percaya Covid-19 Ada. Golongan ini bersikap antipati. Mereka selalu bereaksi dan memposisikan diri melawan setiap ada berita, diskusi, dan kejadian yang berkaitan dengan adanya Covid-19.

Mereka mudah menuding secara sepihak bahwa Covid-19 hanya keinginan pihak tertentu yang menggangu harmoni kehidupan. Protokol kesehatan sama sekali tidak digubris. Jangankan memakai masker, jaga jarakpun mereka enggan lakukan.

Logika sepihak mereka jadikan dasar berpikir. Di kawasan tertentu mereka lihat hidup berjalan normal tanpa sekat dan aturan yang mengikat. Kegiatan  sosial dan lainnya sangat longgar dan seperti tidak ada ancaman dari apapun dan pihak manapun.

Jangan sekali-kali berdebat tentang korona.. Mereka akan menyerang balik sesuai dengan apa yang mereka lihat dan alami. Sedikitpun tidak ada kekhawatiran tentang apa dan bagaimana Covid-19 mengancam kehidupan, khususnya bagi makhluk bernama manusia.

Ketiga, Golongan yang Ragu bahwa Covid-19 antara Ada dan Tiada. Golongan ini mudah terpengaruh keadaan. Mudah dideteksi dari sikap dan perilaku menghadapi pandemi korona. Apalagi dalam diskusi, golongan ini memposisikan diri di tengah-tengah. Bahkan cenderung mudah disetir ke kiri dan ke kanan.

Saat mereka ada di kelompok yang percaya Covid-19 ada, mereka mendukung argumentasi ini. Manakala pemerintah meminta untuk lebih patuh melaksanakan protokol kesehatan, mereka ikut patuh. Tetapi, jika himbauan ini longgar atau mengendor, mereka cenderung melanggar. Himbauan 3M tidak lagi dilakukan.

Demikian pula, saat golongan ini terjebak di kelompok yang tidak percaya Covid-19 ada, mereka akan mendukung pendapat ini. Justru ikut memperbesar gagasan dengan bumbu-bumbu guyonan yang mengarah kepada ketidakpatuhan himbauan pemerintah.

Golongan ini juga mudah terbawa arus berita hoaks. Manakala ada berita “Covid-19 hanyalah proyek pihak tertentu”, mereka getol menyambung ke pihak lain. Tetapi, manakala mereka berhadapan dengan pihak terkait penanganan Covid-19, mereka juga getol menyampaikan programnya. Nah, betulkan?

Mahasiswa menyampaikan orasi di Depan Gedung DPR/MPR. Sumber: Kompas.com/GARRY LOTULUNG.
Mahasiswa menyampaikan orasi di Depan Gedung DPR/MPR. Sumber: Kompas.com/GARRY LOTULUNG.

Milenials, Kendali Sejarah, dan Momentum Menyongsong Generasi Emas

Pandemi Covid-19 benar-benar menyita perhatian. Menggoyang berbagai sendi kehidupan. Mampu menggeser fenomena megaproyek dan pernak-pernik bumbu sedap maupun bau busuk yang menguap.

Kabar perpindahan ibukota, menguap seakan lenyap. Mega kasus “Persekongkolan di Atas Meja Pinangki dan Joko Candra” sempat memanas. Semakin membara dengan terbakarnya gedung Kejaksaan Agung sebagai salah satu simbol kedaulatan negara, juga ikut-ikutan berenang di luasnya samudera. Timbul tenggelam ke permukaan media.   

Pandemi korona jelas ada. Sudah sekian banyak korban meninggal dunia. Dikubur dalam suasana sepi, menambah kesunyian rasa keluarga yang ditinggalkan. Sudah sekian juta orang terpapar di seluruh permukaan bumi yang tak terbantahkan.

Namun, di balik tragedi yang nyata, kaum milenials masih sedikit yang mampu menempatkan diri sebagai agent of change. Sedikit yang mampu menjadi penggerak perubahan mental. Hanya segelintir yang mampu mengedepankan karakter bangsa nan tangguh dari gempuran dinamika global dan lokal. Mengambil posisi aktif sebagai penggerak dan pengawal protokol kesehatan.

Tengok, betapa kerumunan di tempat-tempat publik adalah kaum muda-mudi. Mereka bebas mengekpresikan diri dengan tidak mempedulikan himbaun protokol kesehatan. Menjadi generasi kontra produktif. Membangkitkan kegeraman dari berbagai pihak atas sikap ketidakpedulian yang mereka tunjukkan.

Pemerintah di tingkat pusat dan daerah dibuat kalang kabut. Hingga berbagai cara dilakukan untuk membuat mereka dapat “Menggunakan Akal Sehat”. Langkah preventif dan kuratif masih belum menunjukkan hasil. Efek jera seakan seperti gelombang laut. Pasang surut dipermainkan dalam musibah yang semakin membola.

Miris memang. Dalam kondisi bangsa dan negara yang tertekan, seharusnya kaum milenials ada di garis depan sebagai prajurit handal. Ikut bertempur membendung dan melenyapkan virus korona. Tapi apa kenyataannya? Hanya segelintir yang ambil bagian.

Seharusnya, entah dengan cara apapun, mereka ambil bagian sebagai “agent of change”. Komunitas pemuda, mahasiswa, dan pelajar jangan hanya diam saja dan bahkan merecoki kepentingan bangsanya. Inilah momentum. Inilah saatnya Anda ikut ambil bagian di “Revolusi Sejarah Bangsa”. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Di tengah keterbatasan, hanya semangat juang yang mereka andalkan untuk mempertahankan kemerdekaan. (Sumber: hobbymiliter.com)
Di tengah keterbatasan, hanya semangat juang yang mereka andalkan untuk mempertahankan kemerdekaan. (Sumber: hobbymiliter.com)
Sekali lagi, di sinilah momentum. Kaum muda, kaum yang memiliki energi berkobar-kobar, semangat yang menyala-nyala, meneladani dan mengambil peran penting pemuda-pemuda Indonesia yang dibesarkan oleh api revolusi

Api yang tak kan pernah padam di berbagai jaman. Mengambil kendali sejarah. Menyongsong Generasi Emas 2045. Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka. Semoga.

Rujukan: covid19.go.id | kompas | detik.com | merdeka.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun