Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketidakjujuran Terstruktur yang Dilupakan Mas Nadiem

18 September 2020   12:58 Diperbarui: 18 September 2020   13:04 3433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ganti Menteri, Ganti Kurikulum

Nadiem Anwar Makarim. Muncul sebagai salah satu sosok milenial di Kabinet Indonesia Maju. Terpilihnya Mas Nadiem (panggilan akrabnya), jelas melalui pertimbangan matang. Dianggap mampu membawa perubahan fundamental gerbong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Ibarat proklamasi, pemindahan kekuasaan dan lain-lain berjalan cepat. Program “Merdeka Belajar” digelindingkan. Mengubur Ujian Nasional dan permasalahannya yang tak kunjung kelar. Memberi harapan besar adanya perubahan sektoral.

Terkini, Mas Nadiem kembali melempar granat di tengah gempuran virus korona yang kembali ganas. Tidak tanggung-tanggung, wacana perubahan kurikulum kembali meledak di tengah diskursus pro-kontra belajar di masa pandemi korona.

Kurikulum 2021 akan menitikberatkan penyesuaian konten, asapnya mengepul ke segala arah. Hingga pameo “Ganti Menteri Ganti Kurikulum” kembali mengemuka di jagat media. Apakah cukup penyesuaian konten saja yang perlu dibongkar? Tidak adakah hal urgen lain yang perlu dicongkel untuk membuang penyakit di tubuh lembaga yang pernah dipimpin Ki Hajar Dewantara ini? Perlu untuk kita ulas lebih dalam.

 

Dinamika Kurikulum Era 4.0 (Think Locally and Act Globally)

Pendidikan di Indonesia tidak lepas dari adanya perubahan dan penyesuaian. Dari waktu ke waktu ada dinamika. Bahkan sering terjadi dan menjadi sorotan tajam masyarakat. Sehingga setiap ada pergantian menteri pendidikan, pameo “Ganti Menteri Ganti Kurikulum” mengemuka dan menggelinding liar.

Penilaian masyarakat terbukti. Ganti menteri ganti kurikulum betul terjadi. Ambil contoh saja 4 menteri yang masih kita ingat seperti Mohammad Nuh, Anies Baswedan, Muhadjir Effendy, dan Nadiem Anwar Makarim. Keempat tokoh ini menjadi nakhoda kapal besar KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Kurikulum 2013, dan wacana Kurikulum 2021.

Proses panjang dinamika kurikulum di Indonesia sebetulnya lebih diarahkan pada penyesuaian situasional. Mengikuti perkembangan dan tuntutan jaman. Memiliki tahapan-tahapan untuk mereviu dan merevisi. Memberikan layanan terbaik kepada peserta didik. Mengubah sudut pandang teacher centered ke student centered.

Konsep student centered menuntut guru bukan lagi sebagai kamus berjalan. Transfer knowledge tidak cukup hanya disampaikan lewat ceramah. Hanya mengedepankan capaian aspek knowledge. Mengesampingkan ketercapaian aspek psikomotoric dan character value.

Arus Globalisasi dan penerapan sistem otonomi menuntut kesesuaian 2 hal. Pertama, menjawab tantangan global yang ditandai dengan revolusi teknologi dan informasi beserta dampak yang ditimbulkan. Kedua, menanamkan nilai karakter sosial budaya yang bersifat lokalitas sebagai identitas nasional. Nantinya diharapkan mampu menangkal aspek negatif pengaruh globalisasi.

Di sinilah peran sentral pendidikan dengan dinamika kurikulum yang ada. Menjadi kendaraan besar yang mampu membentuk sumber daya manusia madani. Manusia Indonesia yang mampu menguasai IPTEK dan berkarakter nasional. Mampu bersaing secara global tanpa meninggalkan identitas bangsa. Bertindak global, namun tidak meninggalkan sosial budaya lokal atau nilai-nilai asli bangsa Indonesia.   

Kurikulum 2021, dari Sentralistrik ke Distrik 

Dinamika kurikulum dituntut sesuai perkembangan yang ada. Berlandaskan Pancasila dan tidak bisa ditawar. Merupakan suatu kewajaran dan tidak perlu diperdebatkan secara membabi buta. Menjadi polemik berkepanjangan yang hanya menguras energi.

Senyampang menghasilkan hal positif. Tetap pada rel utama menguasai IPTEK dilandasi nilai karakter bangsa. Bertindak global berlandaskan nilai sosial budaya nasional. Perubahan yang ada perlu kita dukung.

Sebagai menteri milenial, Mas Nadiem juga memotret fenomena perubahan yang ada. Konsep Kurikulum 2021 digelindingkan. Wacana kurikulum yang dibangun dari implementasi tagline “Merdeka Belajar”. Menawarkan dan memberikan tahapan-tahapan inovasi pembelajaran sebagai output dari program “Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak”.

Berangkat dari program “Merdeka Belajar”, Kurikulum 2021 memunculkan sekolah yang sudah mempunyai guru penggerak untuk bebas menentukan konten pembelajaran sesuai kemampuan siswa. Tidak ada lagi penyeragaman materi secara nasional.

Sekolah sebagai satuan pendidikan didampingi guru penggerak, dapat memilah dan memilih materi esensial sebagai bahan pembelajaran. Memperhatikan dan mewadahi keberagaman kemampuan di lingkup satuan pendidikan. Bukan lagi memaksakan keseragaman konten secara nasional (terpusat). Di sinilah titik terang dapat disorot, menarik peran sentralistrik ke distrik hingga tingkat satuan pendidikan. Sesuai ruh otonomi daerah dan menembus satuan pendidikan sebagai jangkar terdepan.

Mastery Learning, Bentuk Ketidakjujuran Terstruktur

Konsep kurikulum 2021 sesuai tagline “Merdeka Belajar”, sepintas program bagus. Memberikan kewenangan penuh guru memilah dan memilih konten pembelajaran. Memperhatikan kemajemukan dan tidak menilai kemampuan peserta didik sama rata dalam segala hal.

Namun, ada hal mendasar yang belum dibidik oleh Mas Menteri. Hal yang menimbulkan ketidakjujuran terstruktur. Dibiarkan tanpa disentuh. Menyangkut sistem penilaian sentralistik yang masih mengikat kuat.

Mastery learning, menuntut ketuntasan pembelajaran. Tuntutan yang harus diukur dengan nilai minimal dalam pencapaian hasil belajar ranah knowledge dan psikomotor. Bahkan peserta didik dan guru wajib tuntas belajar dalam  kurun waktu yang ditentukan dengan standar nilai ketercapaian minimal 75 di jenjang pendidikan dasar dan 60 di jenjang pendidikan menengah. Istilah populernya Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

Peserta didik mempunyai kemampuan berbeda. Baik dalam input maupun output. Sama berbedanya dengan kodrat penciptaan alam. Ada siang ada malam. Ada tinggi ada rendah. Ada hitam ada putih. Tidak mungkin semua dibuat siang, tinggi, dan putih.

Mastery learning mungkin perlu diubah ke human learning atau entah apa istilah lainnya. Memperhatikan betul keberagaman kemampuan siswa. Tidak dipaksakan meskipun dibungkus dengan pengayaan dan tindak lanjut. Kalau toh hasil tindak lanjut masih mentok di bawah KKM, itulah capaian mereka, itulah kemampuan mereka.

Guru sudah berupaya memberikan layanan dan memfasilitasi semampu yang mereka berikan. Namun, manakala berbagai proses mentok di angka bawah KKM, haruskah dikatrol hingga mencapai dan atau melampaui KKM? Inilah bentuk pemaksaan yang menciptakan ketidakjujuran terstruktur.

Ingin bukti? Telusuri rekam hasil belajar di raport pendidikan dasar. Nilai terendah pasti 75 agar siswa tuntas belajar dan syarat naik kelas. Bahkan nilai raport sudah harus disetting ke minimal 75 dan kalau bisa lebih untuk bisa mendukung kelulusan berdasar capaian hasil belajar dalam satuan pendidikan.

Guru, terpaksa memberikan nilai sesuai KKM walaupun ada siswa tidak mencapai KKM karena tuntutan teori mastery learning. Keterpaksaan inilah yang berbenturan dengan tagline “Merdeka Belajar”. Masih dibelenggu aturan sentralistik yang belum dibidik Mas Nadiem.

Ingat, ketidakjujuran akan menimbulkan dampak negatif yang kadang tidak kita sadari. Mungkin dan bisa jadi mastery learning yang dipatok nilai minimal 75 di pendidikan dasar dan 60 untuk jenjang pendidikan menengah, mendegradasi nilai karakter anak-anak bangsa. Sebab mereka berpikiran, tanpa belajar keraspun, naik kelas dan lulus, pasti nilai paling rendah 75 di pendidikan dasar dan atau 60 di jenjang pendidikan menengah. Hal ini terbukti di Raport dan SKHUN mereka. Belum percaya? Tengok dan amati. Adakah nilai di bawah 75 atau 60? Anda yang bisa menjawabnya.

Hemat penulis, biarkanlah guru bekerja dengan giat dan jujur. Mendampingi dan memfasilitasi pembelajaran semampu anak didik mencapai hasil belajar. Tulis hasil belajar di raport dan SKHUN sesuai capaian siswa. Biarkan masyarakat yang menilai kemampuan anak didik yang beragam. Mungkin mereka lemah di eksak tapi kuat di sastra. Mungkin mereka lemah di olahraga tapi kuat di ilmu agama.

Jangan mendesain hasil dengan ketidakjujuran terstruktur. Hanya akan menimbulkan kamuflase dan bias hasil pembelajaran. Akibatnya? Kompetensi masih jauh dari harapan karena tidak sesuai antara rekam jejak hasil di Raport dan SKHUN dengan tuntutan masyarakat dan dunia usaha. 

Guru harus diberi kewenangan menilai hasil proses pembelajaran dengan jujur. Jika anak didik mampu mencapai nilai 100, tulis 100 di raport. Jika anak didik tidak mampu mencapai nilai KKM meskipun sudah ada tindak lanjut, tulis sesuai kemampuan mereka. Namun harus didukung rekam data lengkap ketercapaian hasil belajar mereka. Inilah makna “Merdeka Belajar” bagi semua pihak. Bukan hanya siswa dan guru.

Membongkar sistem penilaian berdasarkan teori mastery learning jelas akan menabrak struktur kurikulum. Senyampang Kurikulum 2021 masih wacana dan akan menggelinding, inilah momentum untuk membongkar keseluruhan struktur kurikulum yang masih menyimpan ketidakjujuran terstruktur. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun