Mastery learning, menuntut ketuntasan pembelajaran. Tuntutan yang harus diukur dengan nilai minimal dalam pencapaian hasil belajar ranah knowledge dan psikomotor. Bahkan peserta didik dan guru wajib tuntas belajar dalam kurun waktu yang ditentukan dengan standar nilai ketercapaian minimal 75 di jenjang pendidikan dasar dan 60 di jenjang pendidikan menengah. Istilah populernya Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Peserta didik mempunyai kemampuan berbeda. Baik dalam input maupun output. Sama berbedanya dengan kodrat penciptaan alam. Ada siang ada malam. Ada tinggi ada rendah. Ada hitam ada putih. Tidak mungkin semua dibuat siang, tinggi, dan putih.
Mastery learning mungkin perlu diubah ke human learning atau entah apa istilah lainnya. Memperhatikan betul keberagaman kemampuan siswa. Tidak dipaksakan meskipun dibungkus dengan pengayaan dan tindak lanjut. Kalau toh hasil tindak lanjut masih mentok di bawah KKM, itulah capaian mereka, itulah kemampuan mereka.
Guru sudah berupaya memberikan layanan dan memfasilitasi semampu yang mereka berikan. Namun, manakala berbagai proses mentok di angka bawah KKM, haruskah dikatrol hingga mencapai dan atau melampaui KKM? Inilah bentuk pemaksaan yang menciptakan ketidakjujuran terstruktur.
Ingin bukti? Telusuri rekam hasil belajar di raport pendidikan dasar. Nilai terendah pasti 75 agar siswa tuntas belajar dan syarat naik kelas. Bahkan nilai raport sudah harus disetting ke minimal 75 dan kalau bisa lebih untuk bisa mendukung kelulusan berdasar capaian hasil belajar dalam satuan pendidikan.
Guru, terpaksa memberikan nilai sesuai KKM walaupun ada siswa tidak mencapai KKM karena tuntutan teori mastery learning. Keterpaksaan inilah yang berbenturan dengan tagline “Merdeka Belajar”. Masih dibelenggu aturan sentralistik yang belum dibidik Mas Nadiem.
Ingat, ketidakjujuran akan menimbulkan dampak negatif yang kadang tidak kita sadari. Mungkin dan bisa jadi mastery learning yang dipatok nilai minimal 75 di pendidikan dasar dan 60 untuk jenjang pendidikan menengah, mendegradasi nilai karakter anak-anak bangsa. Sebab mereka berpikiran, tanpa belajar keraspun, naik kelas dan lulus, pasti nilai paling rendah 75 di pendidikan dasar dan atau 60 di jenjang pendidikan menengah. Hal ini terbukti di Raport dan SKHUN mereka. Belum percaya? Tengok dan amati. Adakah nilai di bawah 75 atau 60? Anda yang bisa menjawabnya.
Hemat penulis, biarkanlah guru bekerja dengan giat dan jujur. Mendampingi dan memfasilitasi pembelajaran semampu anak didik mencapai hasil belajar. Tulis hasil belajar di raport dan SKHUN sesuai capaian siswa. Biarkan masyarakat yang menilai kemampuan anak didik yang beragam. Mungkin mereka lemah di eksak tapi kuat di sastra. Mungkin mereka lemah di olahraga tapi kuat di ilmu agama.
Jangan mendesain hasil dengan ketidakjujuran terstruktur. Hanya akan menimbulkan kamuflase dan bias hasil pembelajaran. Akibatnya? Kompetensi masih jauh dari harapan karena tidak sesuai antara rekam jejak hasil di Raport dan SKHUN dengan tuntutan masyarakat dan dunia usaha.
Guru harus diberi kewenangan menilai hasil proses pembelajaran dengan jujur. Jika anak didik mampu mencapai nilai 100, tulis 100 di raport. Jika anak didik tidak mampu mencapai nilai KKM meskipun sudah ada tindak lanjut, tulis sesuai kemampuan mereka. Namun harus didukung rekam data lengkap ketercapaian hasil belajar mereka. Inilah makna “Merdeka Belajar” bagi semua pihak. Bukan hanya siswa dan guru.
Membongkar sistem penilaian berdasarkan teori mastery learning jelas akan menabrak struktur kurikulum. Senyampang Kurikulum 2021 masih wacana dan akan menggelinding, inilah momentum untuk membongkar keseluruhan struktur kurikulum yang masih menyimpan ketidakjujuran terstruktur. Semoga.