Deru angin, bersiul menyuarakan tangis alam. Menelusup diantara bibir atap berlumut cendawan. Warisan sang hujan.
Rembulan bulat sempurna. Kadang bersembunyi di balik awan. Yang datang dan pergi silih berganti.
Deru angin tiba-tiba terhenti. Kepak sayap kelelawar menyibak sunyi. Bermain mengitari remang lampu. Terkadang cepat menghilang. Diantara diamnya dedaunan.
Arya cukup lama berdiri depan rumahnya. Matanya yang memerah masih awas menelisik. Dipandangnya sebuah gubuk tengah sawah. Pikirannya gundah. Berusaha menangkap sesuatu. Suara perempuan yang akhir-akhir ini sering Arya dengar. Di tengah malam.
"Belum tidur kang....?"
Seketika Arya membalik badan. Dengan trengginas ia cabut gagang belati. Yang terselip di kain pinggang kencang menjerat.
"Ah.... Sarwo. Kirain siapa"
"Sejak tadi kuperhatikan kang Arya berdiri terdiam. Hampir menjelang Subuh kang!"
Arya hanya tersenyum,"Aku belum bisa memejamkan mata"
"Kenapa kang?.... Apa masih ingat mbak Surti?"
Arya hanya diam. Matanya menatap tajam Sarwo.
"Ya sudah kang Arya. Aku mau pulang. Ngantuk, mau tidur sehabis ronda"