Aku berpuisi. Memuntahkan isi hati. Tak ingin negeri yang aku dilahirkan dan juga kau. Hancur berantakan. Ini bukan jazirah Arab. Seperti yang dimuntahkan Syantrie Aliefya dalam puisi atau sajak berikut ini di kanal Fiksiana Kompasiana nan sunyi tapi berisik oleh kaum toleran.
Bukan Bangsa Pelupa
kita semua terlahir sebagai anak-anak merdeka
menghirup bumi dan tanah air khatulistiwa
tempat terindah untuk bercengkerama
semoga kita bukan bangsa pelupa
bahwa leluhur kita menjadi bidan Pancasila
sehingga yang mayoritas terkena wabah euforia
kita bukan keturunan bangsa durjana
yang memaksakan birahi dan nafsu pada syahwat dunia
menekan luar biasa pada siapa pun yang berbeda
kita menjadi ada bersama mereka yang berbeda
agama bukan alat politik dan pemecah negara bangsa
ia merajut benang yang berbeda menjadi indah berwarna
hentikan segala permusuhan dan kebencian
karena takdir tidak menuntut adanya persamaan
namun perbedaan bisa menjadi dahsyatnya sebuah kekuatan
semoga kita tidak menjadi bangsa pelupa
bahwa kita tidak berada di jazirah Arabia
tapi kita terlahir bersama menjadi Indonesia
jika masih saja ada ritual saling mengkafirkan itu
maukah kulucuti kumis dan jenggotmu satu persatu
atau kau pilih memelorotkan daster dan celanamu
Bandung, 11 januari 2017
Tegas dan gamblang menyuarakan keresahan. Tak ingin negeri tercinta ini hancur lebur seperti sebagian negeri yang ada di Jazirah Arab. Tegas meneriakkan ini negeri yang dibangun dari perbedaan untuk kebersamaan. Tempat terindah bercengkerama dipayungi Pancasila. Sesuai takdir yang tak menuntut adanya persamaan. Mengedepankan kebhinekaan agar negeri ini menjadi kuat dan jaya.
Akupun terhenyak. Teringat beberapa kejadian masa lalu. Kerusuhan Sampit, Sambas, Ambon dan yang lain, tak cukupkah membuat kita miris? Coba tengok lagi. Tak cukupkah membuka mata dan hati kita. Betapa harga diri kita sebagai bangsa luhur berbudaya, lebur dan diinjak-injak sendiri. Bahkan ternodai dan diludahi sendiri. Darah yang mengalir hingga beku. Tajam senjata yang saling tebas daging-daging bangsa sendiri, saudara-saudara, anak dan cucu yang tak tahu apa-apa. Masihkah belum mampu membuat kita sadar. Kita bukanlah binatang. Kita adalah manusia yang lahir dan ingin hidup damai di negeri tercinta.
Beyond Blogging, tanpa batas kami bersuara dan berteriak. Marilah kita sadar diri. Sudah cukup darah menetes dan mengaliri negeri anugerah Sang Maha Pencipta. Jangan lagi kau tumpahkan darah saudara sendiri.
Di kanal Fiksiana Kompasiana, adalah istana sunyi kami, tempat kami meneriakkan toleransi. Saling bertautan untuk satu tujuan. Mewujudkan kebersamaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Di tempat sunyi kami pajang harapan. Lewat kata dalam bingkai sastra. Agar bangsa ini tak retak. Seperti yang terlontar dari puisi Rudy Yuswantoro.