Mohon tunggu...
Arrizal Tegar Al Azhar
Arrizal Tegar Al Azhar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

menulis adalah pintu kemana saja

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Distorsi Nilai Kerja Keras Akibat Judi Online

12 Agustus 2024   10:00 Diperbarui: 14 Agustus 2024   02:24 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Judi Slot | AidanHowe/Pixabay

Kemiskinan masih saja menjadi salah satu isu sosial yang dominan di Indonesia dan sering menjadi sorotan utama dalam diskusi publik. Namun, jika ada anggapan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia terus meningkat, maka itu tidak sepenuhnya tepat. 

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan tren penurunan, mencapai 9,03 persen pada Maret 2024, turun dari 9,36 persen pada Maret 2023. Ini berarti sekitar 25,22 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan. 

Meskipun penurunan ini merupakan indikasi positif dari upaya pengentasan kemiskinan, sayangnya masalah ini tetap menjadi sumber dari berbagai permasalahan ekonomi yang mendera masyarakat.

Dalam menghadapi tekanan ekonomi, banyak individu dan keluarga mencari jalan pintas untuk melepaskan diri dari jeratan kemiskinan. Salah satu jalan pintas yang kerap ditempuh adalah melalui judi online. Judi online, dengan janji kekayaan instan, telah menjadi pilihan bagi banyak orang yang merasa terdesak secara finansial. 

Dilansir dari laman DPR RI, Politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Anis Byarwati, menyebutkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang melaporkan bahwa terdapat 2,7 juta orang yang terlibat dalam judi online. Mayoritas dari mereka, sekitar 2,1 juta orang, berasal dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan di bawah Rp100 ribu sehari. 

Ironisnya, mereka berasal dari berbagai latar belakang seperti pelajar, mahasiswa, buruh, petani, pegawai, hingga ibu rumah tangga, yang seharusnya mengalokasikan pendapatannya untuk menabung atau berbelanja di sektor UMKM.

Fenomena ini telah memicu pergeseran dalam persepsi sosial, di mana judi mulai dipandang sebagai cara yang dapat diterima untuk mencapai kestabilan finansial, meskipun dengan risiko yang tinggi. 

Ini menandakan erosi nilai-nilai seperti integritas dan usaha yang selama ini dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial.

Pergeseran Moralitas dan Nilai Kerja Keras

Dalam masyarakat yang dahulu menghargai nilai-nilai kerja keras dan integritas, kemunculan judi online telah membawa perubahan yang signifikan. 

Judi online menawarkan janji kekayaan instan, yang sering kali merusak pandangan tradisional tentang bagaimana kesuksesan dan stabilitas ekonomi seharusnya dicapai. 

Masyarakat yang sebelumnya menilai pendidikan dan pekerjaan sebagai jalan yang layak dan terhormat untuk meningkatkan taraf hidup, kini mulai tergoda oleh kemudahan dan ketidakpastian yang ditawarkan oleh judi.

Pandangan bahwa judi bisa menjadi solusi sah untuk masalah keuangan berpotensi menciptakan generasi yang kehilangan apresiasi terhadap nilai kerja keras. 

Ketika anak-anak tumbuh di lingkungan di mana judi dianggap normal atau bahkan didukung, mereka mungkin tidak melihat pentingnya pendidikan dan kerja keras sebagai jalan menuju kesuksesan. Generasi ini bisa berkembang dengan keyakinan bahwa cara cepat dan mudah, meskipun berisiko tinggi, adalah jalur yang sah untuk mencapai kekayaan. 

Ini bukan hanya soal finansial; ini tentang membentuk nilai-nilai dasar yang mengarahkan kehidupan seseorang.

Lebih jauh lagi, pergeseran moralitas ini memiliki dampak yang luas terhadap etika dan nilai sosial di masyarakat. Ketika judi mulai dianggap sebagai cara yang sah untuk memperoleh uang, hal ini dapat melemahkan nilai-nilai sosial yang sehat, seperti kejujuran dan tanggung jawab. Padahal, nilai-nilai ini merupakan pondasi bagi interaksi sosial yang sehat. 

Selain itu, normalisasi judi online juga bisa menimbulkan efek domino yang lebih luas. Ketika judi online dianggap normal, individu mungkin merasa lebih mudah untuk mengabaikan etika dalam aspek kehidupan lainnya. 

Ini bisa menciptakan budaya di mana tindakan tidak etis dianggap sebagai sesuatu yang bisa diterima selama ada potensi keuntungan finansial. 

Pada akhirnya, ini bisa melemahkan pondasi bersosial dan menciptakan lingkungan di mana individu merasa kurang terikat pada nilai-nilai yang mendasari kehidupan bermasyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun