Dari beberapa catatan menyebutkan bahwa Mithridates VI telah mengamati bahwa bebek di wilayahnya tidak mengalami penyakit tertentu atau bahkan kematian meskipun mereka memakan tanaman beracun.Â
Dari situ ia menyimpulkan bahwa darah mereka pasti memiliki zat pelindung. Akhirnya Mithridates pun menggabungkan darah dari bebek tersebut dengan bahan lainnya seperti sekitar tiga puluh empat ekstrak tumbuhan, sekresi kelenjar berang-berang, dan madu.
Jadi, selain meminum racun tertentu, Mithridates VI juga sekaligus mengonsumsi penawarnya atau bahan-bahan lain yang diduga dapat mengurangi efek dari racun tersebut.
Mithridates pun secara teratur menelan racun dalam dosis kecil tersebut yang ditambah dengan bahan lain sebagai perlindungan terhadap musuh-musuhnya. Oleh karena itu, praktek ini kemudian dikenal sebagai mithridatism.
Lalu, seberapa manjur cara ini dilakukan oleh Mithridates? Menurut cerita yang berkembang, ramuan tersebut sangatlah ampuh.Â
Ketika Mithridates dikalahkan oleh jenderal Romawi, Pompey, dia mencoba mengakhiri hidupnya dengan menelan racun.Â
Namun, upaya itu gagal! Kenapa?Â
Karena toleransi tubuhnya terhadap racun ternyata berhasil, sehingga akhirnya ia harus menghadapi kematian di tangan musuh-musuhnya.Â
Setelah kematiannya itu, legenda tentang Mithridates terus berkembang, begitu juga bahan-bahan yang digunakan sebagai tambahan atau sebagai "penawar racunnya."
Apakah Mithridatism Ini Mitos?
Walaupun cerita tentang Mithridates mungkin mengandung campuran antara fakta dan fiksi, namun secara ilmiah konsep ini tidak sepenuhnya mustahil untuk membangun toleransi terhadap racun tertentu.Â
Namun, sebelum Anda berpikir untuk mengonsumsi racun dalam dosis kecil, perlu diingat bahwa setiap racun memiliki cara kerja yang berbeda pada tubuh, dan mithridatism hanya mungkin efektif untuk beberapa jenis racun.Â