senja,
telah sampai
di titik yang tak hingga
perjalanan spiritual menghitung angka
tak lebih dari sebuah proses ritual
yang bisa saja terhenti
dan berakhir sampai di sini di titik ini
atau bahkan di titik mana pun
jiwa,
selalu ingin pulang, rindu
bersama raga menuju ke sana
di tempat yang telah tercetak di garis tangan
sesuai dengan qada dan qadarnya
tidak untuk diam atau bungkam
tapi membaca kembali catatan-catatan kaki yang pernah di tulis
: jangan biarkan jiwamu pulang sebelum roh suci datang menjemputmu
pada ufuk barat,
melayang-layang kehormatan diri
mengangkasa, merambah, menembus dimensi keabsurdan
dimensi yang tak bersekat, meruang
ruang yang diciptakan oleh olah pikir yang mubazir
yang dipaksa mengisi setiap sisi kehidupan
padahal hidup tak lebih dari sekadar kenyataan semu
tidak sebagaimana kematian dan hari akhir
wahai kekasih,
buah hati cinta kasih dari segala kenikmatan hidup
kenikmatan yang membekap dalam ketulusan berbayang
di antara sikap pasrah atau sekadar atas nama pengabdian
yang sejatinya tak perlu menjadi beban di hati, sehari-harinya
bahwa, mungkin perlu mundur selangkah
seribu? dua ribu langkah?
ah, perkara hidup ini membuatku menertawai diri
ini belum berakhir,
tapi mengakhiri dengan baik dan benar
mungkin itu yang terbaik
agar mudah melihat kembali kebeningan sumur batin
sumur yang selama ini membasahi jiwa-jiwa yang kering
yang bisa saja sedang tersesat dikegelapan hati
duhai senja yang memerah; pada zahir yang semakin menua ini
semakin tak mampu menutupi kerinduan untuk menuju pulang di titik nol
sumurserambisentul, 12 april 2021
arrie boediman la ede
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H