kepada puisi,
malam ini aku bertanya tentang keberadaanmu
kenapa kau tak pernah terlihat lagi?
apakah kau sedang bersembunyi?
wahai puisi,
sudah berhari-hari
aku kehilangan dirimu
sesungguhnya kau pergi ke mana?
ini hari keempat puluh
aku mencarimu tiada henti
mulai dari kolong tempat tidurku
hingga ke loteng rumahku, rumah tua
aku pun bertanya, tak bosan
pada siapa saja yang lewat di-depan-ku
mulai dari pencipta hingga ke pencinta dan pecinta
: apakah kalian pernah melihat puisi?
seharian aku turun ke jalan
aku berkata pada para penunggu lampu merah
jika sempat bertemu dengan puisi, katakan padanya
: "pulanglah segera banyak titah buat dia"
seharian ini pula
akhirnya aku benar-benar merasa
bahwa puisi memang telah hilang pada sebuah peradaban
peradaban yang semakin instan, abad adab fesyen-fesyen
: o, puisi yang pernah tercipta
entah di lembah, entah di gunung
dalam dahaga jiwa yang semakin kering ini
taklelah mencarimu
: o, puisi yang kesunyian
pada pojok kamar perenungan
telah kusiapkan mantra-mantra penolak bala buatmu
agar kau terhindar dari perangkap eufemisme yang mendua
duhai puisi yang pergi
dimanapun engkau berada
tak penting lagi bagiku
yang penting kuketahui tujuan akhirmu
agar kita sama-sama paham; bahwa, ini bukanlah hal remeh temeh
sebab menjadi puisi memang harus jelas tujuan akhirnya, titahnya
kerana titah puisi tidak pernah sama dengan titah absurdisme
titah yang cenderung memaksakan sensasi nihilisme puisi di titik nol
sumurserambisentul, 26 september 2020
arrie boediman la ede